Artikel Dr. Neles Tebay Pr.
Foto Dr. Neles Tebay, Pr. |
Tuntutan Papua merdeka sudah terkubur. Bendera Bintang Kejora sudah
tidak dikibarkan lagi. Organisasi Papua Merdeka (OPM) menjadi
kenangan masa lalu. Generasi muda Papua kelahiran tahun 1980-an tidak
lagi menuntut Referendum.
Namun, semua harapan di atas belum
tercapai sepenuhnya. Sekalipun sudah berusia 50
tahun integrasi Papua ke Indonesia, jelas bagi kita bahwa konflik
Papua belum dituntaskan secara komprehensif dan permanen.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator. Salah satu
indikator terbaru adalah peresmian kantor
OPM pada 28 April 2013, di Oxford, Inggris, oleh wali kotanya.
Konflik Papua tidak hanya mencakup
masalah ekonomi dan pembangunan, tetapi juga politik. Pembukaan
kantor OPM di Oxford
memperjelas dimensi politik dari konflik Papua.
Adanya stigma separatis bagi orang
Papua dan stigma penjajah bagi Pemerintah Indonesia memperlihatkan
dimensi politik dari konflik Papua. Kedua stigma ini
mengakibatkan munculnya kecurigaan dan ketidakpercayaan baik antara
pemerintah dan orang Papua maupun antara orang Papua dan non-Papua.
Aksi-aksi penembakan memperjelas
dimensi vertikal dari konflik Papua yakni antara Pemerintah
Indonesia versus orang Papua, terutama yang menjadi anggota OPM.
Bulan Februari 2013, delapan anggota TNI ditembak mati oleh Tentara
Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) dari OPM.
Pada April 2013,
seorang anggota Polri tewas ditusuk orang-orang tak dikenal di
kabupaten Yapen. Awal Mei, tiga orang Papua tewas dan lima
lainnya menderita luka karena ditembak di Sorong, Provinsi Papua
Barat.
Pada 13 Mei, seorang Papua tewas tertembak di Wamena. Semua
aksi penembakan ini, siapa pun pelakunya, sudah menewaskan warga
sipil serta anggota TNI dan Polri. Tesis bahwa Tidak Ada Konflik di
Papua tidak bisa dibenarkan karena ada konflik
yang belum dituntaskan penyelesaiannya.
Diharapkan implementasi Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus untuk Provinsi Papua dapat
menyelesaikan konflik Papua. UU Otsus Papua sudah berumur 11 tahun,
tetapi tingkat keberhasilannya tidak dapat diukur.
Sulit mengukur perkembangannya karena
grand design implementasi Otsus Papua tidak pernah disusun. Selain
itu, evaluasi komprehensif tentang pelaksanaan Otsus dengan
melibatkan semua pemangku kepentingan tidak pernah dilaksanakan.
Absennya visi bersama tentang masa depan Papua turut mempersulit
evaluasi Otsus.
Ketika hasil implementasi UU Otsus
Papua masih dipertanyakan, rakyat Papua disodorkan proposal baru,
yakni Otonomi Khusus Plus (Otsus plus). Proposal ini menimbulkan
sejumlah pertanyaan.
Apa isi dan bentuk Otsus Plus? Mekanisme seperti
apa yang ditempuh untuk menghasikan Otsus Plus? Berapa lama
Otsus Plus akan diberlakukan? Bagaimana nasib UU Otsus Papua yang
masih berlaku? Masa depan Papua seperti apa yang ingin dicapai
melalui Otsus Plus ini? Tawaran Otsus Plus
ini hanya menunjuk
konflik Papua yang belum diatasi.
Papua Damai dan Sejahtera
Guna menyelesaikan konflik Papua, hal
pertama dan utama yang harus diperjelas terlebih dahulu adalah visi
tentang masa depan Papua.
Diskusi tentang visi Papua tidak
dimaksudkan untuk mempertanyakan keberadaan Papua dalam Republik
Indonesia. Integrasi Papua tidak dipermasalahkan dan tidak ada pihak
yang mempersoalkannya. Komunitas internasional pun mendukung Papua
sebagai bagian integral dari Indonesia.
Apa yang sedang dinantikan banyak
pihak, baik di dalam maupun di luar negeri, adalah gambaran jelas
tentang masa depan Papua dalam Negara Indonesia. Pertanyaan yang
perlu dijawab bukan “Apakah masa depan Papua berada di dalam atau
di luar Indonesia?” Tetapi, “Masa depan Papua seperti apa yang
akan dibangun dalam negara Indonesia?”
Visi masa depan Papua perlu dirumuskan
agar menjadi pegangan dan pedoman bersama dalam membangun Papua
secara berkelanjutan, dengan arah dan fokus yang jelas.
Menurut
penulis, Papua yang damai dan sejahtera dalam Indonesia yang
demokratis dapat dijadikan visi masa depan Papua. Visi ini sejalan
dengan gagasan Papua Tanah Damai yang dikampanyekan para pemimpin
agama di Papua dan sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Visi Papua yang damai dan sejahtera
mengandung nilai-nilai universal seperti keadilan, kebebasan,
partisipasi, kemandirian, pengakuan dan penghargaan diri,
persekutuan, komunikasi dan informasi yang benar, rasa aman,
serta keharmonisan. Visi ini perlu diperjelas secara rinci dalam
indikator-indikator yang dapat diukur dalam bidang ekonomi,
kesejahteraan, dan politik.
Pembangunan dapat dilaksanakan untuk
memenuhi semua indikator yang sudah ditetapkan, sehingga visi Papua
tercapai. Visi Papua yang damai dan sejahtera
dalam Indonesia yang demokratis mesti menjadi visi bersama dari semua
kelompok aktor. Pendapat semua pemangku kepentingan, termasuk
kelompok OPM di dalam dan di luar negeri, harus diakomodasi.
Setiap kelompok aktor perlu diberikan
kesempatan berkumpul, berdiskusi, memberikan sumbangan pemikirannya,
dan merumuskan pandangan kolektifnya tentang masa depan Papua dengan
memperjelas indikator-indikator visi Papua.
Mekanisme pembahasan visi Papua bersama
indikator-indikatornya perlu dilaksanakan secara bertahap dan
bertingkat, sehingga jangkauannya semakin melebar dan meluas,
sekaligus mengerucut. Dengan demikian semua pemangku kepentingan
merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap visi Papua yang damai
dan sejahtera dalam negara Indonesia yang demokratis. (*)
*Penulis adalah dosen STFT Fajar Timur
Abepura dan Koordinator Jaringan Damai Papua.
Sumber : Sinar Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar