JAKARTA, SuaraKaumTakBersuara.com - Kematian ibu dan
anak di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga.
Diperkirakan tak kurang dari 9.500 ibu meninggal saat melahirkan serta
157.000 bayi dan 200.000 anak balita meninggal setiap tahun. Seyogianya,
penurunan angka kematian dijadikan tolok ukur keberhasilan kinerja
kepala daerah.
Foto Ilustrasi. Doc by Depkes RI |
Di Papua, terutama di daerah pedalaman, kematian ibu melahirkan,
bayi, dan anak balita, menjadi ancaman serius. AKI di Papua 362 per
100.000 kelahiran hidup, di atas angka nasional 228 per 100.000
kelahiran hidup. Angka kematian bayi di Papua pun tertinggi di
Indonesia, 41 per 1.000 kelahiran hidup, jauh lebih tinggi daripada
angka nasional 34 per 1.000 kelahiran hidup.
Di Halmahera Utara, Maluku Utara, AKI dan AKB meningkat. Jika tahun
2009 tercatat 5 ibu melahirkan dan 6 bayi meninggal, tahun 2011 ada 10
ibu melahirkan dan 29 bayi meninggal. Yang menurun hanya kematian anak
balita. Dari 30 anak balita di tahun 2009 menjadi 11 anak balita tahun
2011.
Di Jawa Timur, meski AKB menurun, ternyata AKI meningkat. Jika tahun
2008 AKI 83,2 per 100.000 kelahiran hidup, di tahun 2011 AKI justru
104,3 per 100.000 kelahiran hidup.
Data Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu tahun 2011 menunjukkan, AKB
9,6 per 1.000 kelahiran hidup, AKBA 8,5 per 1.000 kelahiran hidup, dan
AKI 120 per 100.000 kelahiran hidup.
Di Kabupaten Jayawijaya, AKBA tercatat 43 per 1.000 kelahiran hidup.
Pneumonia dan diare menjadi penyebab tertinggi kematian bayi dan anak
balita. Dokter Puskesmas Wollo, Filandy Pai, mengatakan, di Distrik
Wollo, kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) bayi dan anak balita
mencapai 20 kasus per bulan.
Selain itu, kecukupan gizi bayi dan anak balita sangat kurang
sehingga mereka rentan terserang penyakit. Umumnya orangtua memberi
makan anak berupa ubi dan sayur daun ubi tiap hari tanpa dilengkapi lauk
yang mengandung protein dan zat gizi lain. Anak-anak, sebagaimana orang
dewasa, biasa mengonsumsi air mentah. Hal itu dilakukan Semina Gombo
(27), warga Kampung Wollo, pada anaknya yang berumur satu tahun. Hanya
itu makanan yang dimilikinya. Ternak babi hanya dipotong untuk pesta.
”Makan erom (ubi) saja. Tidak pakai lauk,” ujarnya.
Letak puskesmas jauh dari kampung warga yang menyebar di perbukitan.
Hal ini diakui Kepala Puskesmas Wollo Ebed Gombo. Mereka harus berjalan
kaki naik turun bukit dan gunung berkilo-kilometer untuk periksa dan
berobat ke puskesmas. Puskesmas Wollo dengan fasilitas minim itu hanya
ada dua dokter pegawai tidak tetap daerah, bidan, dan kepala puskesmas.
Kepala Dinas Kesehatan Jayawijaya Agustinus Aronggear mengakui,
layanan kesehatan di pedalaman masih sangat terbatas. Dinkes menghadapi
persoalan kekurangan tenaga kesehatan. Jumlah bidan hanya 156 orang,
padahal dibutuhkan 300 bidan. Bidan yang ada pun lebih banyak bertugas
di perkotaan. Apalagi fasilitas untuk tenaga kesehatan di pedalaman
tidak memadai, misalnya tidak ada listrik dan perumahan kurang layak.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Papua Yosef Rinta, Papua masih
membutuhkan 2.500 bidan dan 427 perawat. Dari 324 puskesmas, dan 724
puskesmas pembantu, di 30 kabupaten/kota hanya 60 persen ada dokter. Itu
pun tidak semua dokter ada di tempat tugas.
Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Halmahera Utara
Johana Aipipideli mengatakan, gizi kurang menjadi penyebab kematian ibu,
bayi, dan anak balita di Halmahera Utara. Ini disebabkan rendahnya
pengetahuan dan masalah keterbatasan ekonomi.
”Ada bayi berusia tiga hari diberi makan pisang, padahal air susu ibu
sudah cukup sampai usia enam bulan,” kata Kepala Puskesmas Tobelo Timur
Rit Nyonyie.
Oktofina Kurais (25), penduduk Desa Bale, Kecamatan Galela Selatan,
Halmahera Utara, mengatakan, penghasilan suaminya sebagai petani kopra
hanya Rp 500.000 per bulan. Uang itu tak cukup untuk membeli makanan
bergizi bagi empat anak mereka yang berusia lima tahun, empat tahun, dua
tahun, dan satu tahun. Sering kali mereka hanya diberi makan ubi saja.
Dari 196 desa di 17 kecamatan di Halmahera Utara, bidan desa baru ada
di 135 desa. Itu pun tak sampai 100 bidan yang menetap di desa. Banyak
bidan yang habis waktu di puskesmas. Hal itu mendorong warga pergi ke
dukun untuk bersalin dan mengobati anak.
Namun, keadaan mulai berubah. Menurut Cendrawati Unggu, bidan Desa
Katana, Tobelo Timur, kini warga Katana paham jika bersalin maupun anak
sakit harus dibawa ke puskesmas atau diperiksa tenaga medis. Sejak dua
tahun lalu, kader posyandu dan puskesmas gencar menyosialisasikan hal
itu. Apalagi, Puskesmas Tobelo Timur yang letaknya dekat Katana
berfungsi tahun lalu.
Kemiskinan dan rawan pangan juga membelit penduduk Nusa Tenggara. Di
puncak musim kemarau ini, Badan Penanggulangan Bencana Daerah NTT
merilis, 16 dari 20 kabupaten di NTT mengalami rawan pangan.
Adelina Lakbanu (38), yang mengandung anak kesembilan dan tengah
hamil tua, ditemui berjualan kayu bakar di tepi jalan Kupang-Atambua,
tepatnya di Desa Boentuka, Kecamatan Batu Putih, Kabupaten Timor Tengah
Selatan, Nusa Tenggara Timur. Kayu itu dikumpulkan suaminya, Anton
Lakbanu (46). ”Saya duduk di sini sudah dua hari, tetapi baru laku tiga
ikat kayu dengan total harga Rp 15.000,” kata Adelina. Dua anaknya yang
kelihatan, Mince (12) dan Stefi (7), tampak kurus kurang gizi.
Uang itu dikumpulkan untuk persalinan. Dari delapan anak yang
dilahirkan, tiga orang meninggal. Lima anak yang tersisa semuanya
perempuan.
Perempuan jebolan kelas tiga sekolah dasar Boentuka ini mengaku belum
memeriksakan kandungan sejak usia kandungan masuk delapan bulan. Ia
takut tak mampu bayar pemeriksaan di puskesmas. Keluarga ini sudah
dihapus dari daftar warga miskin penerima raskin per Juni 2012.
Selama ini Adelina melahirkan anak di rumah, tetapi kali ini ia ingin
melahirkan di puskesmas. Alasannya, ia trauma akan nasib tetangganya,
Marta (41), yang meninggal Agustus lalu. Marta mengalami kesulitan
persalinan. Meski sempat dibawa ke RSUD Soe, Marta tidak tertolong. Anak
Marta meninggal dua hari setelah kematian Marta.
Kematian di kota
Meningkatnya AKI di Jawa Timur ataupun Surabaya terjadi akibat
keterlambatan petugas merujuk ke rumah sakit atau puskesmas terdekat.
Dokter spesialis kebidanan dan kandungan di Rumah Sakit Umum dr
Soetomo, Surabaya, Agus Sulitiyono, mengatakan, kebanyakan petugas
kesehatan di kelurahan atau kecamatan memberi rujukan ke rumah sakit
pemerintah karena pertimbangan biaya. ”Padahal, banyak rumah sakit
swasta yang dilewati pasien ketika dalam perjalanan menuju rumah sakit
pemerintah,” kata Agus, Jumat (9/11).
Menurut Agus, seharusnya petugas kesehatan memberi rujukan ke
fasilitas kesehatan terdekat, baik milik swasta maupun pemerintah untuk
penanganan gawat darurat. Setelah masa kritis terlewati, pasien dapat
dirujuk ke rumah sakit pemerintah.
Dari pengalaman, Agus mengungkapkan, penyebab utama kematian ibu
adalah tekanan darah tinggi saat kehamilan (preeklamsia), perdarahan
saat persalinan, dan gangguan jantung yang menyertai saat persalinan.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bengkulu Hindarini, Kamis
(8/11), banyak ibu belum sadar pentingnya pemeriksaan selama kehamilan.
Mereka baru datang ke tenaga kesehatan saat persalinan sehingga jika ada
kelainan tidak bisa terdeteksi sebelumnya. Keterbatasan ekonomi
menyebabkan asupan makanan ibu hamil sering terabaikan. Akibatnya, bayi
lahir dengan berat badan rendah (kurang dari 2.500 gram).
Di Jakarta, akses kesehatan bagi ibu dan anak terkendala masalah
administrasi. ”Di daerah ini warga sebagian pendatang, terkadang tidak
punya KTP Jakarta dan kartu keluarga (KK),” ujar Emiliana, kader
Posyandu Pisang Raja Garing di RT 003 Kampung Kemandoran Pluis.
Kalaupun ada KTP Jakarta dan KK, yang tercantum hanya nama kepala
keluarga (suami) dan anak. Para istri tidak tercantum karena
mempertahankan KTP desa asal untuk menjaga hak kepemilikan tanah dan
rumah mereka di desa. Laki-laki mengurus KTP Jakarta dan KK untuk
kepentingan kerja dan sekolah anak.
Ketidaklengkapan kartu identitas sebagai syarat administrasi itu
kerap menjadi persoalan bagi perempuan keluarga miskin untuk mengakses
fasilitas kesehatan secara gratis. (RWN/APA/KOR/ADH/INE/ILO/ATK)
SUMBER: http://nasional.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar