Foto Marthen Goo. Doc SKTB |
JAKARTA, SuaraKaumTakBersuara- Terkait pernyataan ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Irman Gusman, tentang permintaannya agar Pemerintah Australi komitmen menolak berbagai upaya separatis di Indonesia “NKRI adalah harga mati untuk Indonesia, maka Papua Merdeka bukanlah
solusi yang tepat. Untuk itu sebagai negara tetangga, Indonesia
mengharapkan komitmen dari Australia untuk dukungan upaya
mensejahterakan masyarakat Papua, karena intinya adalah peningkatan
kesejahteraan dan pemerataan pembangunan, khususnya di kawasan timur
Indonesia”, saat pertemuannya dengan duta besar Astrali untuk Indonesia, Greg Moriaty di Gedung Nusantara III, Komplek MPR/DPR/DPD RI, Selasa (4/6), seperti yang dirilis Gatra News, mendapat sorotan dari aktivis Papua, Marthen Goo.
Marthen dalam selulernya menjelaskan, di Papua tidak ada separatis. Separatis itu justru orang yang menstigmatisasi rakyat tak berdosa, dan dengan lebel Stigma, kemudian melakukan kejahatan kemanusiaan. Ketua DPD itu patut dipertanyakan statusnya. Dia DPD utusan Papua atau tidak? kalau dia bukan utusan Papua dan tidak tahu soal Papua, jangan so tahu tentang Papua dengan stigma miring seperti itu. Stigma miring seperti itu, bagian dari diskriminasi dan lebel ilegal yang dibuat agar Militer tetap didrop ke Papua untuk melakukan kekerasan. Sesungguhnya, Irman itu tidak pantas jadi DPD apalagi ketua, tandas Marthen.
Marthen menambahkan, "Apakah Irman mau orang Papua harus pasif dan diam menerima bantaian dan pembunuhan terus menerus sampai punah? Ketua DPD ko kolot seperti itu bahasanya". Marthen kemudian menjelaskan, Di dunia mana saja, kalau komunitas tertentu dibantai dan dipunahkan dengan kekuatan militer, maka komunitas itu pasti berusaha untuk menyelamatkan diri. Orang Papua di Posisi seperti itu. Kekerasan dari tahun 1963 sampai sekarang terus terjadi. Negara tidak perna memberikan rasa aman bagi rakyat Papua, dan itu sangat tidak salah, jika rakyat Papua menyuarakan suara mereka untuk ingin hidup jauh dari penindasan. Apalagi kekerasan di Papua justru dilakukan oleh Aparat Negara, dan bahkan Negara justru turut membuat kebijakan yang melahirkan kekerasan.
Dengan nada kesal, Marthen menegaskan, Semestinya, DPD itu berpikir tentang pentingnya membuka ruang Demokrasi di Papua, kemudian membebaskan media Lokal, Nasional dan Internasional untuk masuk dengan bebas ke Papua agar bantu mengungkap semua kejahatan di Papua dan lain-lainnya. Tapi kalau Negara saja membatasi semua itu, secara logika, bisa dibilang ada skenario besar Negara untuk Papua, apalagi kekerasan terus terjadi, sementara pendekatan Dialog justru ditolak terus menerus.
Terkait kesejahteraan yang disampaikan Ketua DPD, dengan nada lantang, Marthen menegaskan, "Bagimana Negara mau mensejahterakan orang Papua, sementara banyak pengamen dan pengemis di sekitar Istanah Negara saja, Negara tidak mampu mensejahterakan mereka. Banyak sekali orang di Ibu Kota Negara yang hidupnya memprihatinkan, tapi Negara tidak mampu membangun mereka, bagi mana dengan orang Papua yang secara fisik saja beda. Ketua DPD itu harus biasakan diri bicara hal yang benar. Bagimana juga Negara mau sejahterakan Papua kalau kekerasan terus terjadi, sementara Dialog saja tidak diiyakan oleh Negara?
Stop dengan bahasa tinggi yang isinya kosong!" tegas Marthen.
Marthen berharap agar digelar Dialog Jakarta Papua, dan hentikan semua kekerasan dan Stigmatisasi di Papua, yang hanya mengorbankan rakyat tak berdosa. (***Steven)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar