Peneas Lokbere (Koord. BUK) |
JAKARTA,
SuaraKaumTakBersuara - Peristiwa Biak Berdarah 6/7/1998, meninggalkan luka
batin bagi korban dan keluarga korban, sementara pelaku dibenarkan oleh Negara
dan tak perna disidangkan.
Kasus kekerasan terjadi di biak 6 Juli 1998, saat
masyarakat melakukan aksi menuntut kemerdekaan Papua, di Tower Biak. Aksi
tersebut dilakukan dari tanggal 2 Juli sampai dengan 6 Juli 1998. Masyarakat
dengan penuh semangat melakukan aksi besar-besaran di Tower, dan menaikan
bendera di Tower. Jumlah masa aksi yang diprediksikan berjumlah 100 orang lebih
tersebut, membakar jiwa kesemangatan mereka untuk tetap bertahan. Aksi selamat
4 hari itu, kemudian dibubarkan paksa oleh militer gabungan, baik TNI AL, TNI
AU dan TNI AD bersama Polri.
Aksi pembubaran paksa diikuti dengan rentetan. Banyak
rakyat yang ditembak, disiksa dan dihilangkan secara paksa hak hidup mereka. Menurut koordinator Berjuan Untuk Kebenaran
(BUK), Peneas Lokbere, saat kegiatan diskusi mengenang korban kekerasan
Biak, di Kontras sore tadi, Sabtu, 6 Juli 2013, pukul 17.00, “dalam
kasus tersebut, 8 orang tewas; 37 orang ditangkap dan disiksa kemudian
diselkan, termaksud Pak Philep Karma; 150 orang luka berat, 3 orang hilang
(Penghilangan Paksa); 32 mayat misterius ditemukan di perairan PNG, yang saat
itu, isu dikembangkan adalah korban bencana Aceh, pada hal, itu korban
kekerasan Negara di Biak” tandas Peneas.
Menurut Peneas, kami melakukan Diskusi saat ini, sebagai peringatan akan peristiwa kekerasan tersebut. Lanjut Peneas, Kegiatan memperingati kekerasan di Biak 6 Juli 1998 tidak hanya dilakukan di Jakarta, tapi juga dilakukan di Papua dan di Sydney. Sayangnya, terkait rencana aksi di Jayapura, tidak bisa dikarenakan ruang demokrasi sudah ditutup oleh Negara melalui Polda Papua, tandas Peneas.
Terkait kasus tersebut, Peneas meminta Negara harus
mengaku telah melakukan pembunuhan dan penyiksaan terhadap masyarakat sipil dan Negara harus meminta maaf pada korban dan keluarga
korban.
Kekerasan yang dilakukan aparat saat itu, tidak hanya
pada rakyat sipil asli Papua, namun kekerasan tersebut juga dilakukan terhadap
warga Papua, khususnya pemilik took-toko yang pada saat itu memberikan bantuan air kepada massa aksi.
Sementara korban penyiksaan di suruh jalan merayab dengan dada, kemudian
dipukul pakai popor senjata dan ditendang, yang mengakibatkan luka parah pada
korban. Banyak rakyat disiksa dan dikorbankan, namun pelakunya tidak diberi
sangsi atau pun hukuman, sehingga pelaku merasa perbuatannya selalu benar. (Marthen Goo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar