PERS
RILIS
1
Bulan Tragedi Paniai Berdarah 8 Des 2014
KOMNAS
HAM HARUS TEGAS MEMBENTUK KPP HAM,
AGAR
PENGADILAN HAM TRAGEDI PANIAI TERWUJUD!
Lebih banyak kabar tak baik menghampiri
Papua dari Jakarta, ketimbang kabar baik. Sementara harapan kita besar pada
kabar baik di era pemerintahan baru ini. Penembakan di Enarotali, Paniai;
rencana penambahan KODAM di Manokwari; rencana pertambahan transmigrasi ke
Papua; penembakan 2 orang Brimob di Timika berbuah penyisiran ke kampung warga;
berbagai pernyataan aparat yang menyudutkan kelompok-kelompok tertentu di Papua;
mantan kepala BIN yang menjadi PresDir PT. Freeport, adalah di antara dereatan
kabar buruk yang menghampiri Papua.
Di tengah situasi yang tidak menjanjikan
itu, satu bulan sudah berlalu sejak 4 remaja ditembak mati, dan 17 orang
lainnya terpaksa dirawat di Rumah Sakit. Mereka ditembak aparat gabungan TNI
dan Polri di lapangan Karel Gobay, Enarotali, Paniai Timur pada 8 Desember 2014
lalu.
Penyesalan Jokowi, yang terlambat 20 hari,
telah disampaikan dalam kunjungannya ke Jayapura, Papua 27 Desember lalu.
Berbagai seruan untuk melakukan penyelidikan telah dikeluarkan
kelompok-kelompok masyarakat sipil, termasuk pemerintah sendiri. Hasil
investigasi sementara KOMNAS HAM telah menyimpulkan adanya penggaran HAM (hak
hidup dan hak untuk tidak mendapatkan perlakuan yang kejam) pada kasus Paniai.
KOMNAS HAM juga menghendaki dibentuknya Tim Pencari Fakta Gabungan (TPGF) untuk
melakukan penyelidikan.
Namun demikian, hingga saat ini, semua
ini masih wacana. Temuan KOMNAS HAM tentu saja adalah landasan untuk melangkah
lebih jauh. Pada 7 Januari 2015 KOMNAS HAM telah melakukan pertemuan pleno, dan
merekomendasikan pembentukan tim penyeldikan berdasarkan UU HAM 30/1999.
Penyelidikan berdasarkan UU tersebut adalah penyelidikan pemeriksaan
yaitu dalam rangka pemantauan. Sementara yang kita butuhkan adalah penyelidikan
pro justisia yang bertujuan untuk menentukan ada atau tidaknya suatu tindak
pidana pelanggaran HAM yang berat.
Padahal KOMNAS HAM sudah mendapatkan
kesimpulan adanya pelanggaran HAM dalam kesimpulan sementara yang mereka
keluarkan 22 Desember lalu. Sehingga penyelidikan seharusnya bisa meningkat ke
pro justisia berdasarkan UU No. 26/2000. Kedua penyelidikan ini memang penyelidikan terkait
pelanggaran HAM, tetapi pelanggaran HAM dalam kedua penyelidikan ini memiliki
makna yg berbeda. Pelanggaran HAM dalam penyelidikan pro Justitia berarti
tindak pidana yang mempunyai sanksi pidana, sedangkan dalam penyelidikan
pemeriksaan pelanggaran HAM berarti pelanggaran prinsip-prinsi HAM.
Hasil pertemuan belum secara tegas dan
bulat menyatakan akan membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM (KPP HAM) untuk kasus penembakan Paniai. Untuk itulah kami
hadir pada hari ini, agar KOMNAS HAM tidak ragu-ragu membuat keputusannya:
- Unsur-unsur pelanggaran HAM berat semestinya telah dapat disimpulkan terjadi pada kasus penembakan di Paniai, 8 Desember 2014 dan harus dilaporkan kepada publik;
- KOMNAS HAM harus mendengarkan permintaan dan tuntutan unsure-unsur masyarakat baik di tingkat nasional mapun disipil Papua yang menghendaki pembentukan KPP HAM Paniai, seperti agamawan dan budayawan, akademisi, lembaga-lembaga hak asasi manusia nasional, Koalisi Masyarakat Sipil Papua, Dewan Adat Daerah Paniai, dan Sinode Kingmi Paniai.
- Segera membentuk KPP HAM (Ttim Ad hoc) Paniai berdasarkan mandat UU No. 26/2000 untuk prosedur penyelidikan PRO JUSTITIA yang diatur dalam pasal 18 ayat 2, dengan unsur-unsur independen dari masyarakat.
- Sementara proses ini dilakukan, segera libatkan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) untuk memberikan perlindungan dan perawatan pada saksi dan korban yang memerlukan, mencegah intimidasi pada saksi dan penghilangan barang bukti.
KOMNAS HAM perlu mengingat, bahwa konteks
sejarah pelanggaran HAM di Papua, mayoritas pelaku adalah anggota lembaga
pertahanan dan keamanan negara (TNI) atau kepolisian negara (Polri), Komnas HAM
sendiri telah menarik kesimpulan bahwa aparat keamanan negara bertanggung jawab
atas peristiwa kekerasan di Abepura 7 Desember 2000, Wasior 2001 dan Wamena 1
April 2003. Kasus besar lainnya seperti Operasi Pembebasan Sandera di Mapnduma
tahun 1996, Biak Berdarah tahun 1998 atau Pembubaran Konggres Papua III tahun
2011 tidak pernah diusut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Inilah saatnya. Tanpa keberanian menggugat
impunitas TNI-Polri, selamanya Hak Azasi Manusia Indonesia, apalagi Papua, akan
terus dikebiri.
Kita tidak boleh biarkan, kita tidak boleh
menyerah, keadilan harus ditegakkan.
Jakarta, 8 Desember 2014
Gerakan #PapuaItuKita
Komnas HAM membentk Tim KPP ham tidak secara efektif
BalasHapusDan jgn di jadikan aturan hukum sebagai defleksi sebab hukum itu berlaku di siapa saja
Usulan Stop bentuk banyak banyak tim cukum komnas ham dan aktivis yang harus menangani sebab mereka ini punya tupoksi....
BalasHapus