Kekerasan dan Diskriminasi Rasial Berjalan Bersama
Untuk Orang Papua, Pemerintah Terkesan Tak Serius Untuk Papua
Konflik di Papua masih terus terjadi walau Jokowi berkata akan
melakukan pendekatan yang menurut diri-nya adalah pendekatan yang terbaik,
entah referensi apa yang dipakai Jokowi seperti apa. Pernyataan itu keluar
setelah perayaan Natal yang dilakukan di Jayapura-Papua pada 28 Desember 2014.
Sementara, pernyataan Jokowi atas kasus Paniai, 8 Desember 2014, lahir
setelah 9 hari terjadinya kasus pembantaian tersebut. Sesungguhnya, ini soal
kemanusiaan yang direspon ketika kasus itu terjadi. Namun soal kemanusiaan di
Papua, Jokowi masih memakai istilah jedah beberapa hari. Ini pernyataan yang
sangat misteris, yang harus direnung bagi kita sekalian.
Ternyata, kekerasan tidak berhenti setelah pernyataan yang dikeluarkan
oleh Jokowi. Kekerasan itu terus terjadi hingga masuk tahun baru. Ini menunjukan
bahwa, kekerasan di Papua tidak akan perna terselesaikan.
Merilis Kembali Peristiwa
8 Desember 2014
TNI dan Polri
menembak mati 4 Siswa SMU, dan 4 Siswa SD luka-luka, 2 Siswa SMP luka-luka dan
16 lainnya luka-laku yang terdiri dari Mahasiswa, Masyarakat dan PNS. Pada kasus
tersebut, aparat susah mengalihkan kasus tersebut menjadi kasus lain
berdasarkan stigmatisasi yang selalu dipakai.
10 Desember 2014
Jokowi bersam Komnas
HAM menyelenggarakan hari HAM di Jogjakarta.
24 Desember 2014
TNI masuk ke
beberapa Gereja di Paniai dan membuat panik umat TUHAN di Gereja saat harus
beribadah.
26 Desember 2014
Ada pernyataan Presiden
terkait kasus di Paniai melalui Sekretariat Negara, Andi W, “alasan mengapa
Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum mengeluarkan pernyataan terkait insiden
penembakan warga sipil di Paniai, Papua”.
28 Desember 2014
Presiden berkata:
(1)
Saya melihat rakyat Papua tidak hanya butuh pelayanan kesehatan, tidak
hanya butuh pelayanan pendidikan, tidak hanya pembangunan jalan, jembatan, dan
pelabuhan saja. Tapi, juga butuh didengar dan diajak bicara,"
(2) "Kita akhiri konflik. Jangan ada kekerasan,
marilah kita bersatu. Yang masih di dalam hutan, yang masih di atas
gunung-gunung, marilah kita bersama-sama membangun Papua sebagai tanah yang
damai,"
(3) "Semua harus mau dialog, berbicara dengan
masyarakat. Karena, dengan berbicara itulah kita bisa tahu betul akar
masalahnya itu apa. Tetapi, saya meyakini, dengan sebuah dialog syukur bisa
pendek, persoalan itu bisa selesai,"
(4) "Semua harus mau dialog, berbicara dengan
masyarakat. Karena, dengan berbicara itulah kita bisa tahu betul akar
masalahnya itu apa. Tetapi, saya meyakini, dengan sebuah dialog syukur bisa
pendek, persoalan itu bisa selesai," Jokowi lanjut lafi dengan berkata “
(5) Sumber: http://www.republika.co.id/berita/koran/politik-koran/14/12/29/nhbv8f2-jokowi-janjikan-dialog-di-papua
31 Desember 2014
Ada penembakan versi Aparat di Deyai pada pukul 11.15 WIT. Penembakan tersebut melukai Bribtu Arif di Kampung
Gakokebo. Penembakan dilakukan oleh OTK. OTK diinformasikan melarikan diri ke
arah gunung di Iyaadimi. Sementara, masyarakat yang melintasi daerah Iyaadimi
melihat banyak aparat yang berjaga-jaga dan melintas. Tidak terdengar tembakan baik di Gakokebo
maupun Iyadimi, dan situasi saat itu terlihat aman-aman.
1 Januari 2015
Kamis, pukul 21.00, Terjadi
kekerasan yang mengorbankan Bripda Adriandi dan Bripda Ryan Hariansyah serta
sekurity PT Freeport bernama Suko Miyartono.
2 Januari 2015
Pernyataan pihak
polda Papua “Saat ketiganya patroli menggunakan kendaraan dari Kampung Binti
menuju ke Kampung Uikini, mereka diadang oleh sekelompok orang tidak dikenal
berjumlah lima orang”. Tribun News menegaskan “ kemungkinan kelompok kriminal
bersenjata yang selama ini melakukan gangguan dan penembakan pada masyarakat
serta anggota TNI dan Polri”. Status OTK tapi tribun menstigma-nya. Kriminal bersenjata.
Entah siapa mereka.
Ada dua hal yang menarik,
yakni:
1)
Setelah Presiden mengeluarkan pernyataan dengan bahasa manis-nya,
kekerasan tetap terjadi;
2)
Kasus pada tanggal 31/12/2014 dan tanggal 1/1/2015, yang korban adalah
Aparat, yakni Polri, salah satu-nya adalah Satpam.
Apa motivasinya?
1.
Apakah sebagai upaya pengalihan Isu kasus 8 Desember 2014...?
2.
Apakah sebagai upaya legalitas untuk hadir-nya Kodam...?
3.
Apakah sebagai upaya pencitraan...?
4.
Apakah sebagai upaya penambahan pasukan atau darurat militer...?
5.
Apakah sebagai upaya penambahan dana keamanan...?
6.
Apakah sebagai perlawanan terjadap kepemimpinan Jokowi...?
7.
Apakah sebagai upaya agar tidak ada proses Dialog...?
8.
Apakah sebagau upaya agar rakyat tetap bungkam dan tidak kritis...?
9.
Apakah sebagai upaya mematikan Psikologi dan Mentalitas rakyat...?
Peristiwa seperti ini sesungguhnya menunjukan bahwa sampai Kapanpun akan
terus ada kekerasan yang dimainkan. Mungkin kekerasan itu akan berakhir kalau
orang yang tidak suka ada Orang Asli Papua hidup kemudian punah dari tanah
leluhur mereka. Siapa mereka yang tidak senang Orang Asli Papua hidup, tentu
mereka yang sedang merampas seluruh kekayaan di Papua dan bahkan merampas tanah
adat.
Situasi membuat orang Papua seakan tergantung pada Jokowi, selaku
Presiden Republik Indonesia. Sementara, kasus di Paniai terjadi, Jokowi tidk
menunjukan nilai kemanusiaannya. Nilai kemanusiaan itu harus ditunjukan dengan
pernyataan belasungkawa, apalagi, Jokowi saat itu memperingati Hari HAM sedunia
di Jogjakarta, pada 10 Desember 2014.
Sementra, setiap aksi anak-anak Papua, dilarang oleh Pihak Kepolisian. Dan
itu tidak hanya di Papua. Di Jakarta pun pelarangan aksi mulai dilakukan. Entah
apa motivasinya, tapi tentu sebagai upaya untuk membungkam hak Orang Papua dan
ini bagian dari proses percepatan pemusnaan Orang Papua. Tentu, tanpa disadari
ada praktek rasial yang dilakukan oleh Aparat Negara dan bahkan oleh Petinggi
Negara seperti Jokowi dan Jusuf Kala. Jika Perlakuan rasis sudah dilakukan
seperti ini, tentu ini ancaman terbesar yang harus dilihat dengan seksama.
Hal rasial lain yang bisa diperhatikan adalah, Aceh bisa digelar Dialog
(Perundingan), sementara untuk Papua, Pemerintah Pusat selalu menghindar dan
bahkan menutup diri dengan pernyataan negatif dan stigma miring. Kini, Dialog
yang diartikan Jokowi pun terkesan direduksi subtansi dari Dialog. Jika Jokowi
serius, sesungguhnya dia sudah memilih “Special Envoy”.
Penulis: Marthen Goo (Aktivis Kemanusiaan Papua)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar