Senin, 27 Oktober 2014

APA MOTIVASI JOKOWI & JK DI PAPUA...?

Foto Puluhan Ribu Orang Mengikuti Pemakaman Tokoh Papua, Theys H. Elluay.
Rakyat di Papua sudah mempercayai Jokowi-JK dan memberikan lebih dari 70% Suara mereka untuk kemenangan Jokowi-JK karena merasa Hak dan Nasip mereka akan diperhatikan. Rakyat merasa, dengan diberikan suara mereka atas kemenangan Jokowi dan JK, akan ada angin segar.

Namun sangat disayangkan. Suara nurani rakyat hanya dibalas dengan diangkatnya Ryamizard Ryacudu menjadi Menteri Pertahanan, yang tentu, Ryamizard bagi keluarga korban dan bagi orang Papua adalah Aktor Anti Hak Asasi Manusia. Pernyataan Ryamizard "Pembunuh Theys Elluay adalah Pahlawan", sangat mencoreng hati rakyat Papua, karena Theys adalah Tokoh dan Pahlawan rakyat Papua. Pernyataan Ryamizard bisa dilihat pada web: http://www.tempo.co/read/news/2003/04/23/05511050/Jenderal-Ryamizard-Pembunuh-They dan

Tentu mengangkat Ryamizard, sama artinya meyobek kepercayaan rakyat Papua pada Jokowi-JK. Menurut Haris Azhar Orang-orang seperti Wiranto dan Ryamizard, akan mempersulit Jokowi dan kabinetnya. Ini adalah ancaman karena harusnya Jokowi menegakkan hukum tapi justru ada pelanggar hukum di dalamnya. Dia sudah bersumpah di depan MPR saat dilantik, bahwa hak asasi manusia harus dihormati” (okezone News/Sabtu/ 25/102014).


Jika dilihat dari situasi seperti ini, apakah Papua mau dijadikan daerah Operasi Militer?

Kenapa Jokowi Justru memilih orang Anti Demokrasi/Anti HAM menjadi Menteri Pertahanan?

Banyak masalah di Papua. Hal di depan mata, untuk di Papua, adalah dibunuh-nya ruang Demokrasi. Diskriminasi Demokrasi sudah dilakukan sejak 60-an hingga kini. Sayang-nya, Aktor pembunuh Demokrasi dipercaya menjadi Menteri Pertahanan, yang tentu, hanya akan memperburuk situasi di Papua. Entah apa Motivasi diangkatnya aktor seperti itu menjadi Menteri.

Rini Mariani Soemarno pun diangkat oleh Jokowi-JK menjadi Menteri BUMN di Kabinet mereka. Sementara, Rini ditetapkan oleh KPK sebagai lebel merah. Proses pemaksaan Menteri dari pribadi yang bermasalah seperti ini, tentu sudah merusak Demokrasi pada awal Kepemimpinan Jokowi-JK. Aksi relawan di depan Istana pada Minggu, 26/10/2014, dengan tema tolak Rini menjadi Menteri, sesungguhnya harus direspon Presiden dan Wakil Presiden baru (TribunNews.Com/26/10/2014).

Jika dilihat dari situasi seperti itu, apakah dengan diangkatnya Prof. Dr. Yohana Yambise menjadi Menteri Perempuan, hanya sebagai simbolis yang memberikan pesan filosofis ”Papua itu perempuan, tidak bisa buat apa-apa dan tidak punya kemampuan, serta bisa diatur aman dan dikendalikan...? ataukah apa pesan terselubung di balik itu? Ataukah hanya topeng seakan Papua diberikan ruang yang berbanding terbalik dengan diangkatnya aktor lain yang anti Demokrasi dan HAM...?”

Dua minggu lalu, saya menjumpai seorang anak kecil berinisial Y/T, usia-nya baru 13thn. Saat itu, Monas terlihat sepih. Dia datang menghampiri saya dan berkata, “Kakak, Presiden di Indonesia ini susah dipercaya. Sebelumnya, Semua Presiden sangat buruk. Tidak ada Presiden yang pro rakyat. Kita bersyukur perna punya Gusdur, hanya sayang, dia harus dipaksakan turun dari Jabatannya. Pokok-nya, semua Presiden itu sama. Ujung-ujung-nya hanya kepentingan”. Saya langsung berkata sama dia, “De, Jokowi ini beda dengan yang lain. Dia akan mampu membangun rakyat Indonesia.” Anak itu langsung memotong bahasa saya dan berkata “Kak, Jokowi juga akan sama dengan Presiden sebelumnya. Kakak lihat saja nanti”. Setelah melihat beberapa Menteri yang semestinya ditolak tapi tetap dipertahankan dan aspirasi rakyat tidak didengar Jokowi-JK, mengingatkan saya pada apa yang perna dikatakan anak berusia 13tahun itu.

Tentu saat ini, Rakyat butuh Demokrasi, Rakyat butuh hak mereka dikembalikan dan dihormati serta dijunjung tinggi. Karenanya, berharap, kepemimpinan Jokowi-JK bisa berpikir ulang dalam merekrut Kabinet yang bersih dan pro-rakyat serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, dan mampu membuka ruang Demokrasi seluas-luas-nya bagi rakyat, khusus-nya di Papua. Berharap, Jokowi dan JK bisa membuka ruang Dialog Jakarta-Papua, apalagi, JK punya pengalaman membuka Perundingan antara Jakarta dan Aceh.



Penulis: Marthen Goo (Aktivis Kemanusiaan Papua)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar