Pemberantasan
korupsi di Indonesia belum dijadikan agenda penegakan hak asasi. Padahal
penting dalam pencegahan dan penghukuman untuk menghadirkan perspektif hak
asasi. Hampir semua sektor korupsi, uang negara yang dirampok, merupakan uang
untuk pemenuhan hak-hak rakyat baik secara individu maupun bersama-sama.
Kerangka penghukuman koruptor dengan perspektif pelanggaran HAM akan memberat
hukuman dan menjadikannya sebagai hostis humanis genaris (musuh bagi
semua umat manusia).
Saat ini Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mulai menghitung Beban Sosial Korupsi, dengan
cara; Biaya antisipasi terhadap korupsi (biaya pencegahan tindak pidana
korupsi), Biaya akibat korupsi (kerugian yang ditanggung masyarakat akibat
praktik korupsi, baik eksplisit maupun implisit, seperti: dampak sosial
ekonomi, dampak perekonomian, dampak investasi, dst) dan Biaya Reaksi terhadap
korupsi (biaya yang muncul sepanjang proses penyelesaian perkara, sejak proses
penyelidikan hingga pemasyarakatan). Tujuan beban sosial ini untuk ditimpakan
ke koruptor dan bisa menjadikannnya sebagai efek jera alias pemiskinan. Upaya
ini oleh KPK dikatakan sebagai pertanggungjawaban atas hak-hak ekonomi dan
sosial masyarakat.
Pertanyaannya
kemudian, cukupkah hanya dengan meminta pertanggungjawaban lewat beban
pembiayaan? Jika dilihat dari bentuknya, menurut KPK, Korupsi terjadi
melalui penyuapan, pengadaan barang/jasa, penyalahgunaan anggaran, perijinan,
pungutan, tindak pidana pencucian uang hingga bentuk penghalangan kerja KPK
dalam mengungkap tindak pidana korupsi.
Korupsi yang
terjadi di Indonesia meliputi berbagai sektor, di antaranya; pangan, kesehatan,
perumahan, pendidikan, hutan dan sumber energi, peradilan dan penegakan hukum,
fasilitas umum, agama hingga bantuan sosial untuk kaum dhuafa atau
korban bencana. Sektor-sektor ini masuk dalam kategori hak yang dijamin dalam
sejumlah aturan hukum HAM, nasional maupun internasional. Atas nama negara,
sektor-sektor di atas menyedot uang negara (APBN) dituangkan dalam sebuah
Undang-undang. Dengan demikian UU APBN tersebut merupakan turunan dari
Konstitusi Indonesia (pasal 1 dan 10, UU nomor 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).
Sektor-sektor
uang yang dikorupsi sangat fundamental dalam isu-isu pemenuhan hak asasi.
Misalnya sektor Pangan, korupsi mengakibatkan malnutrisi, korupsi pendidikan
mengakibatkan remaja putus sekolah. Korupsi sektor kesehatan berakibat pada
cacat permanen, korupsi perumahan berakibat pada hidup tidak hygenies. Korupsi
sektor peradilan akan membuat frustasi masyarakat kecil yang tidak mampu
melakukan suap. Bahkan ada anggota masyarakat yang membakar diri karena
frustasi dengan sistem hukum yang tidak akomodatif. Akibat buruk dari
korupsi-korupsi tersebut berujung pada inhuman degrading (merendahkan
manusia). Kualitas manusia dan kehidupannya memburuk.
Dalam konteks
lingkungan hidup, korupsi terjadi dalam bentuk penyuapan untuk mendapatkan ijin
eksplorasi lingkungan (tanah, air atau udara). Akibatnya adalah kerusakan lingkungan
yang membutuhkan waktu lama untuk memperbaikinya serta rusaknya ekosistem. Masa
depan warga negara Indonesia berpotensi diwarisi kekeringan dan kemiskinan
sumber daya alam. Dalam hak asasi isu ini dikenal sebagai hak generasi masa
depan (Inter-generational rights).
Di sisi lain,
upaya pengungkapan korupsi pun dikriminalkan atau mendapatkan intimidasi atau
kekerasan. Tama S Langkun dari ICW yang membongkar rekening gendut pejabat
perwira Polri, dianiaya; Seorang PNS di Manado, diadukan ke Polisi dituduh
melakukan pencemaran nama baik karena ia membongkar korupsi sebuah kantor
Kanwil di Manado. Korupsi mengandung kekerasan yang simbolik hingga kekerasan
fisik. Bahkan biaya kuasa hukum pun dibebankan ke institusinya.
Upaya
Pemenuhan Hak Asasi
Sebaliknya,
konsep hak asasi menempatkan negara sebagai penanggungjawab pemenuhan hak-hak
tersebut. Pemenuhan hak asasi tidak bisa parsial, namun harus secara
komprehensif, di mana semua jenis hak saling terkait. Misanya, setiap perempuan
berhak atas pendidikan yang baik, karena dengan pendidikan yang baik, akan
meningkatkan kapasitas kompetitif dalam penyerapan tenaga kerja bagi perempuan.
Pendapatan yang layak dari seorang perempuan akan berkontribusi dalam kualitas
makan yang dibeli dan mengurangi risiko sakit. Oleh karenanya setiap hak saling
indivisble (tak terpisahkan) dalam pemenuhannya. Negara tidak hanya
wajib memenuhi setiap jenis hak, akan tetapi wajib menjaga keutuhan pemenuhan
tersebut, seperti menyediakan dan memastikan adanya pendidikan yang baik,
fasilitas kesehatan yang terjangkau, dan seterusnya.
Dalam Perjanjian
Internasional untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang sudah dijadikan hukum
Indonesia melalui UU nomor 11 tahun 2005, menyatakan bahwa pemenuhan hak di
bidang ekonomi, sosial dan budaya membutuhkan sejumlah prasyarat, pertama,
negara harus menggunakan secara optimal sumber-sumber yang dimiliki untuk
memenuhi hak-hak asasi sebagaimana yang dijamin, seperti pangan, perumahan,
kesehatan, pekerjaan, keamanan, dst. Dengan kata lain, optimalisasi ini bukan
untuk tujuan memperkaya diri sendiri. Prinsip ini tidak bisa membenarkan
“menggunakan” sumber daya apapun untuk memperkaya diri atau kelompok tertentu.
Kedua, realisasi
yang progresif. Artinya realisasi tersebut harus menunjukkan peningkatan
kualitas pada penerima manfaat. Penerima manfaat adalah manusia-manusia
Indonesia atau yang hidup di Indonesia. Pemenuhan hak ekonomi bukan semata-mata
diperdebatkan pada persoalan kebijakan dan teori ekonomi yang diambil (Asbjorn
Eide, at. al, 2005). Melainkan pada kondisi manusianya. Jika pemerintah klaim
bahwa ada peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, seharusnya harga tempe
naik bukanlah masalah karena masyarakat mampu. Tapi nyatanya daya beli konsumen
menurun akibat harga tempe yang naik. Atau dalam sektor lain, kenapa laporan
angka ranking Universitas di Indonesia menurun di saat pertumbuhan ekonomi
meningkat, sebagaimana yang disampaikan Quacquarelli Sydmonds Woorld
University of Indonesia (2013).
Perjanjian
Internasional atas Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya juga membuka ruang, untuk
peran nonnegara dalam upaya pemenuhan hak asasi. Namun, sekali lagi, peran ini
untuk merealisasikan pemenuhan hak asasi, bukan mengambil keuntungan berlebih,
bahkan sampai menguasasi hajat hidup atau ruang publik yang harusnya dikelola
oleh negara. Misalnya, membantu pemerintah menemukan teknologi untuk
menyediakan obat murah.
Pertanggungjawaban
Korupsi tidak
hanya merugikan secara material, tapi merusak masa depan dan kehidupan manusia.
Korupsi melanggar kesepakat global untuk memuliakan manusia yang bangkit
setelah perang dunia kedua. Korupsi tidak hanya melanggar undang-undang
pemberantasan korupsi atau undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang,
melainkan melanggar Undang-Undang dibidang Pendidikan, Kesehatan,
Ketanagakerjaan, dan banyak Undang-undang lainnya.
Selain asas
Progresivitas, hak asasi juga mengenal prinsip Pemulihan (Remedy). Internasional
Law Commission, sebuah lembaga hukum dibawah PBB, menerjemahkan pemulihan
sebagai upaya post factum yang meliputi; Penghukuman/pengadilan,
pemulihan kondisi korban akibat pelanggaran hak asasi, penataan kebijakan dan
institusi untuk tidak berulangnya kejahatan. Di Pengadilan HAM Inter-America,
bahkan, sudah dikenal pemulihan pada komunitas. Artinya Pemulihan bukan
dialamatkan kepada korban per korban saja tapi komunitas luas yang terkena
efeknya secara tidak langsung. Menariknya, keputusan ini keluar dari sebuah
proses peradilan.
Membangun
Efek Jera di Indonesia
Dalam rangka
membangun efek jera, sudah saatnya sebuah praktek korupsi dihukum dengan pasal
berlapis, bukan sekedar merugikan negara. Melainkan Berbasis pada pelanggaran
hak asasi. Kerugian, sebagaimana yang didalilkan oleh KPK, harus dianggap hanya
sebagai salah satu aspek, apalagi hanya menghitung biaya kerugian materil
belaka.
Berdasarkan
uraian di atas, penting untuk didorong, pertama, membuktikan pelanggaran aturan
perundang-undangan yang menjamin sejumlah hak yang dirugikan di dalam setiap
berkas kasus korupsi, terutama pada tingkat penyelidikan dan penyidikan. Berkas
tersebut kemudian bisa diteruskan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk
menguji aspek pencurian uang negaranya. Namun, berkas penyidikan yang ada bisa
pula diberikan ke Komisi negara lainnya, seperi Pemberantasan korupsi di Indonesia
belum dijadikan agenda penegakan hak asasi. Padahal penting dalam pencegahan
dan penghukuman untuk menghadirkan perspektif hak asasi. Hampir semua sektor
korupsi, uang negara yang dirampok, merupakan uang untuk pemenuhan hak-hak
rakyat baik secara individu maupun bersama-sama. Kerangka penghukuman koruptor
dengan perspektif pelanggaran HAM akan memberat hukuman dan menjadikannya
sebagai hostis humanis genaris (musuh bagi semua umat manusia).
Saat ini Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mulai menghitung Beban Sosial Korupsi, dengan
cara; Biaya antisipasi terhadap korupsi (biaya pencegahan tindak pidana
korupsi), Biaya akibat korupsi (kerugian yang ditanggung masyarakat akibat
praktik korupsi, baik eksplisit maupun implisit, seperti: dampak sosial ekonomi,
dampak perekonomian, dampak investasi, dst) dan Biaya Reaksi terhadap korupsi
(biaya yang muncul sepanjang proses penyelesaian perkara, sejak proses
penyelidikan hingga pemasyarakatan). Tujuan beban sosial ini untuk ditimpakan
ke koruptor dan bisa menjadikannnya sebagai efek jera alias pemiskinan. Upaya
ini oleh KPK dikatakan sebagai pertanggungjawaban atas hak-hak ekonomi dan
sosial masyarakat.
Pertanyaannya
kemudian, cukupkah hanya dengan meminta pertanggungjawaban lewat beban
pembiayaan? Jika dilihat dari bentuknya, menurut KPK, Korupsi terjadi
melalui penyuapan, pengadaan barang/jasa, penyalahgunaan anggaran, perijinan,
pungutan, tindak pidana pencucian uang hingga bentuk penghalangan kerja KPK
dalam mengungkap tindak pidana korupsi.
Korupsi yang terjadi
di Indonesia meliputi berbagai sektor, di antaranya; pangan, kesehatan,
perumahan, pendidikan, hutan dan sumber energi, peradilan dan penegakan hukum,
fasilitas umum, agama hingga bantuan sosial untuk kaum dhuafa atau
korban bencana. Sektor-sektor ini masuk dalam kategori hak yang dijamin dalam
sejumlah aturan hukum HAM, nasional maupun internasional. Atas nama negara,
sektor-sektor di atas menyedot uang negara (APBN) dituangkan dalam sebuah
Undang-undang. Dengan demikian UU APBN tersebut merupakan turunan dari
Konstitusi Indonesia (pasal 1 dan 10, UU nomor 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).
Sektor-sektor
uang yang dikorupsi sangat fundamental dalam isu-isu pemenuhan hak asasi.
Misalnya sektor Pangan, korupsi mengakibatkan malnutrisi, korupsi pendidikan
mengakibatkan remaja putus sekolah. Korupsi sektor kesehatan berakibat pada
cacat permanen, korupsi perumahan berakibat pada hidup tidak hygenies. Korupsi
sektor peradilan akan membuat frustasi masyarakat kecil yang tidak mampu
melakukan suap. Bahkan ada anggota masyarakat yang membakar diri karena
frustasi dengan sistem hukum yang tidak akomodatif. Akibat buruk dari
korupsi-korupsi tersebut berujung pada inhuman degrading (merendahkan
manusia). Kualitas manusia dan kehidupannya memburuk.
Dalam konteks
lingkungan hidup, korupsi terjadi dalam bentuk penyuapan untuk mendapatkan ijin
eksplorasi lingkungan (tanah, air atau udara). Akibatnya adalah kerusakan
lingkungan yang membutuhkan waktu lama untuk memperbaikinya serta rusaknya
ekosistem. Masa depan warga negara Indonesia berpotensi diwarisi kekeringan dan
kemiskinan sumber daya alam. Dalam hak asasi isu ini dikenal sebagai hak
generasi masa depan (Inter-generational rights).
Di sisi lain,
upaya pengungkapan korupsi pun dikriminalkan atau mendapatkan intimidasi atau
kekerasan. Tama S Langkun dari ICW yang membongkar rekening gendut pejabat
perwira Polri, dianiaya; Seorang PNS di Manado, diadukan ke Polisi dituduh
melakukan pencemaran nama baik karena ia membongkar korupsi sebuah kantor
Kanwil di Manado. Korupsi mengandung kekerasan yang simbolik hingga kekerasan
fisik. Bahkan biaya kuasa hukum pun dibebankan ke institusinya.
Upaya
Pemenuhan Hak Asasi
Sebaliknya,
konsep hak asasi menempatkan negara sebagai penanggungjawab pemenuhan hak-hak
tersebut. Pemenuhan hak asasi tidak bisa parsial, namun harus secara
komprehensif, di mana semua jenis hak saling terkait. Misanya, setiap perempuan
berhak atas pendidikan yang baik, karena dengan pendidikan yang baik, akan
meningkatkan kapasitas kompetitif dalam penyerapan tenaga kerja bagi perempuan.
Pendapatan yang layak dari seorang perempuan akan berkontribusi dalam kualitas
makan yang dibeli dan mengurangi risiko sakit. Oleh karenanya setiap hak saling
indivisble (tak terpisahkan) dalam pemenuhannya. Negara tidak hanya
wajib memenuhi setiap jenis hak, akan tetapi wajib menjaga keutuhan pemenuhan
tersebut, seperti menyediakan dan memastikan adanya pendidikan yang baik,
fasilitas kesehatan yang terjangkau, dan seterusnya.
Dalam Perjanjian
Internasional untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang sudah dijadikan hukum
Indonesia melalui UU nomor 11 tahun 2005, menyatakan bahwa pemenuhan hak di
bidang ekonomi, sosial dan budaya membutuhkan sejumlah prasyarat, pertama,
negara harus menggunakan secara optimal sumber-sumber yang dimiliki untuk
memenuhi hak-hak asasi sebagaimana yang dijamin, seperti pangan, perumahan,
kesehatan, pekerjaan, keamanan, dst. Dengan kata lain, optimalisasi ini bukan
untuk tujuan memperkaya diri sendiri. Prinsip ini tidak bisa membenarkan
“menggunakan” sumber daya apapun untuk memperkaya diri atau kelompok tertentu.
Kedua, realisasi
yang progresif. Artinya realisasi tersebut harus menunjukkan peningkatan
kualitas pada penerima manfaat. Penerima manfaat adalah manusia-manusia
Indonesia atau yang hidup di Indonesia. Pemenuhan hak ekonomi bukan semata-mata
diperdebatkan pada persoalan kebijakan dan teori ekonomi yang diambil (Asbjorn
Eide, at. al, 2005). Melainkan pada kondisi manusianya. Jika pemerintah klaim
bahwa ada peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, seharusnya harga tempe
naik bukanlah masalah karena masyarakat mampu. Tapi nyatanya daya beli konsumen
menurun akibat harga tempe yang naik. Atau dalam sektor lain, kenapa laporan
angka ranking Universitas di Indonesia menurun di saat pertumbuhan ekonomi
meningkat, sebagaimana yang disampaikan Quacquarelli Sydmonds Woorld
University of Indonesia (2013).
Perjanjian
Internasional atas Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya juga membuka ruang, untuk
peran nonnegara dalam upaya pemenuhan hak asasi. Namun, sekali lagi, peran ini
untuk merealisasikan pemenuhan hak asasi, bukan mengambil keuntungan berlebih,
bahkan sampai menguasasi hajat hidup atau ruang publik yang harusnya dikelola
oleh negara. Misalnya, membantu pemerintah menemukan teknologi untuk
menyediakan obat murah.
Pertanggungjawaban
Korupsi tidak
hanya merugikan secara material, tapi merusak masa depan dan kehidupan manusia.
Korupsi melanggar kesepakat global untuk memuliakan manusia yang bangkit
setelah perang dunia kedua. Korupsi tidak hanya melanggar undang-undang
pemberantasan korupsi atau undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang,
melainkan melanggar Undang-Undang dibidang Pendidikan, Kesehatan,
Ketanagakerjaan, dan banyak Undang-undang lainnya.
Selain asas
Progresivitas, hak asasi juga mengenal prinsip Pemulihan (Remedy). Internasional
Law Commission, sebuah lembaga hukum dibawah PBB, menerjemahkan pemulihan
sebagai upaya post factum yang meliputi; Penghukuman/pengadilan,
pemulihan kondisi korban akibat pelanggaran hak asasi, penataan kebijakan dan
institusi untuk tidak berulangnya kejahatan. Di Pengadilan HAM Inter-America,
bahkan, sudah dikenal pemulihan pada komunitas. Artinya Pemulihan bukan
dialamatkan kepada korban per korban saja tapi komunitas luas yang terkena
efeknya secara tidak langsung. Menariknya, keputusan ini keluar dari sebuah
proses peradilan.
Membangun
Efek Jera di Indonesia
Dalam rangka
membangun efek jera, sudah saatnya sebuah praktek korupsi dihukum dengan pasal
berlapis, bukan sekedar merugikan negara. Melainkan Berbasis pada pelanggaran
hak asasi. Kerugian, sebagaimana yang didalilkan oleh KPK, harus dianggap hanya
sebagai salah satu aspek, apalagi hanya menghitung biaya kerugian materil
belaka.
Berdasarkan
uraian di atas, penting untuk didorong, pertama, membuktikan pelanggaran aturan
perundang-undangan yang menjamin sejumlah hak yang dirugikan di dalam setiap
berkas kasus korupsi, terutama pada tingkat penyelidikan dan penyidikan. Berkas
tersebut kemudian bisa diteruskan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk
menguji aspek pencurian uang negaranya. Namun, berkas penyidikan yang ada bisa
pula diberikan ke Komisi negara lainnya, seperi Komnas HAM atau lembaga hukum
lainnya, seperti Kejaksaan Agung, untuk ditindaklanjuti ke Pengadilan Umum.
Tujuannya untuk mengadili aspek pidana pelanggaran hak asasi. Idealnya, unsur
pencurian uang dan pelanggaran hak asasi diperiksa dalam satu peradilan.
Pemidanaan dengan cara gabungan atau pasal berlapis harusnya memberatkan
hukuman.
KPK sampai
Pengadilan juga harus bisa menerjemahkan kesalahan praktek pelaksanaan
kebijakan yang ada dan sering dijadikan dasar korupsi. Keputusan akhir
Pengadilan patut membuat rekomendasi perubahan kebijakan dan budaya institusi yang
menyebabkan korupsi.
Kedua, sebagai
sebuah pilihan, mendorong Komisi Nasional Hak Asasi Manusia turut serta
melakukan investigasi atas pelanggaran-pelanggaran hak asasi di sektor ekonomi
sosial di mana korupsi terjadi dan melakukan intervensi dalam proses peradilan
tindak pidana korupsi.
Tugas penting
dari semua upaya ini adalah mengembalikan kehidupan dan mimpi yang rusak oleh
praktek korupsi. Menghitung uang kerugian akibat korupsi adalah pintu pertama
yang kemudian harus digunakan untuk memenuhi janji negara memberikan
sumber-sumber kehidupan, seperti pendidikan dan rumah. Putusan pengadilan
perkara korupsi harus menetapkan indikatior waktu dan kualitas pengembalian hak
yang diperkarakan. Penanganan korupsi di sektor pangan, sebagai contoh, seharusnya
berimplikasi pada meningkatkan konsumsi pangan oleh warga negara.
Keempat, cara
lain yang bisa dilakukan adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
melakukan advokasi korban-korban korupsi untuk meminta ganti rugi (kompensasi,
rehabilitasi dan restitusi) ke pelaku-pelaku korupsi. Hal ini bisa dilengkapi
melalui pendampingan hukum dari lembaga-lembaga bantuan hukum yang baru saja
mendapatkan dana APBN. Lembaga-lembaga ini bisa memilih fokus penuntutan ganti
rugi akibat korupsi dari warga-warga di sekitarnya. Oleh karenanya penting bagi
KPK, Komnas HAM dan lembaga-lembaga serupa membuka hasil penyelidikannya agar
bisa dimanfaatkan bagi upaya massal memerangi korupsi.
Upaya KPK patut
diapresiasi namun harus ditindaklanjuti oleh berbagai pihak dengan berbagai
kerja menyeluruh. Konsep hak asasi manusia adalah sebuah paradigma yang tepat
untuk menjadikan para koruptor sebagai musuh kemanusiaan.
Haris
Azhar, Koordiantor KontraS
Sumber:kontras.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar