Sabtu, 05 Juli 2014

KORUPSI MELANGGAR HAK ASASI MANUSIA



Pemberantasan korupsi di Indonesia belum dijadikan agenda penegakan hak asasi. Padahal penting dalam pencegahan dan penghukuman untuk menghadirkan perspektif hak asasi. Hampir semua sektor korupsi, uang negara yang dirampok, merupakan uang untuk pemenuhan hak-hak rakyat baik secara individu maupun bersama-sama. Kerangka penghukuman koruptor dengan perspektif pelanggaran HAM akan memberat hukuman dan menjadikannya sebagai hostis humanis genaris (musuh bagi semua umat manusia).

Saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mulai menghitung Beban Sosial Korupsi, dengan cara; Biaya antisipasi terhadap korupsi (biaya pencegahan tindak pidana korupsi), Biaya akibat korupsi (kerugian yang ditanggung masyarakat akibat praktik korupsi, baik eksplisit maupun implisit, seperti: dampak sosial ekonomi, dampak perekonomian, dampak investasi, dst) dan Biaya Reaksi terhadap korupsi (biaya yang muncul sepanjang proses penyelesaian perkara, sejak proses penyelidikan hingga pemasyarakatan). Tujuan beban sosial ini untuk ditimpakan ke koruptor dan bisa menjadikannnya sebagai efek jera alias pemiskinan. Upaya ini oleh KPK dikatakan sebagai pertanggungjawaban atas hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat.

Pertanyaannya kemudian, cukupkah hanya dengan meminta pertanggungjawaban lewat beban pembiayaan?  Jika dilihat dari bentuknya, menurut KPK, Korupsi terjadi melalui penyuapan, pengadaan barang/jasa, penyalahgunaan anggaran, perijinan, pungutan, tindak pidana pencucian uang hingga bentuk penghalangan kerja KPK dalam mengungkap tindak pidana korupsi.

Korupsi yang terjadi di Indonesia meliputi berbagai sektor, di antaranya; pangan, kesehatan, perumahan, pendidikan, hutan dan sumber energi, peradilan dan penegakan hukum, fasilitas umum, agama hingga bantuan sosial untuk kaum dhuafa atau korban bencana. Sektor-sektor ini masuk dalam kategori hak yang dijamin dalam sejumlah aturan hukum HAM, nasional maupun internasional. Atas nama negara, sektor-sektor di atas menyedot uang negara (APBN) dituangkan dalam sebuah Undang-undang. Dengan demikian UU APBN tersebut merupakan turunan dari Konstitusi Indonesia (pasal 1 dan 10, UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).

Sektor-sektor uang yang dikorupsi sangat fundamental dalam isu-isu pemenuhan hak asasi. Misalnya sektor Pangan, korupsi mengakibatkan malnutrisi, korupsi pendidikan mengakibatkan remaja putus sekolah. Korupsi sektor kesehatan berakibat pada cacat permanen, korupsi perumahan berakibat pada hidup tidak hygenies. Korupsi sektor peradilan akan membuat frustasi masyarakat kecil yang tidak mampu melakukan suap. Bahkan ada anggota masyarakat yang membakar diri karena frustasi dengan sistem hukum yang tidak akomodatif. Akibat buruk dari korupsi-korupsi tersebut berujung pada inhuman degrading (merendahkan manusia). Kualitas manusia dan kehidupannya memburuk.

Dalam konteks lingkungan hidup, korupsi terjadi dalam bentuk penyuapan untuk mendapatkan ijin eksplorasi lingkungan (tanah, air atau udara). Akibatnya adalah kerusakan lingkungan yang membutuhkan waktu lama untuk memperbaikinya serta rusaknya ekosistem. Masa depan warga negara Indonesia berpotensi diwarisi kekeringan dan kemiskinan sumber daya alam. Dalam hak asasi isu ini dikenal sebagai hak generasi masa depan (Inter-generational rights).

Di sisi lain, upaya pengungkapan korupsi pun dikriminalkan atau mendapatkan intimidasi atau kekerasan. Tama S Langkun dari ICW yang membongkar rekening gendut pejabat perwira Polri, dianiaya; Seorang PNS di Manado, diadukan ke Polisi dituduh melakukan pencemaran nama baik karena ia membongkar korupsi sebuah kantor Kanwil di Manado. Korupsi mengandung kekerasan yang simbolik hingga kekerasan fisik. Bahkan biaya kuasa hukum pun dibebankan ke institusinya.

Upaya Pemenuhan Hak Asasi

Sebaliknya, konsep hak asasi menempatkan negara sebagai penanggungjawab pemenuhan hak-hak tersebut. Pemenuhan hak asasi tidak bisa parsial, namun harus secara komprehensif, di mana semua jenis hak saling terkait. Misanya, setiap perempuan berhak atas pendidikan yang baik, karena dengan pendidikan yang baik, akan meningkatkan kapasitas kompetitif dalam penyerapan tenaga kerja bagi perempuan. Pendapatan yang layak dari seorang perempuan akan berkontribusi dalam kualitas makan yang dibeli dan mengurangi risiko sakit. Oleh karenanya setiap hak saling indivisble (tak terpisahkan) dalam pemenuhannya. Negara tidak hanya wajib memenuhi setiap jenis hak, akan tetapi wajib menjaga keutuhan pemenuhan tersebut, seperti menyediakan dan memastikan adanya pendidikan yang baik, fasilitas kesehatan yang terjangkau, dan seterusnya.

Dalam Perjanjian Internasional untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang sudah dijadikan hukum Indonesia melalui UU nomor 11 tahun 2005, menyatakan bahwa pemenuhan hak di bidang ekonomi, sosial dan budaya membutuhkan sejumlah prasyarat, pertama, negara harus menggunakan secara optimal sumber-sumber yang dimiliki untuk memenuhi hak-hak asasi sebagaimana yang dijamin, seperti pangan, perumahan, kesehatan, pekerjaan, keamanan, dst. Dengan kata lain, optimalisasi ini bukan untuk tujuan memperkaya diri sendiri. Prinsip ini tidak bisa membenarkan “menggunakan” sumber daya apapun untuk memperkaya diri atau kelompok tertentu.

Kedua, realisasi yang progresif. Artinya realisasi tersebut harus menunjukkan peningkatan kualitas pada penerima manfaat. Penerima manfaat adalah manusia-manusia Indonesia atau yang hidup di Indonesia. Pemenuhan hak ekonomi bukan semata-mata diperdebatkan pada persoalan kebijakan dan teori ekonomi yang diambil (Asbjorn Eide, at. al, 2005). Melainkan pada kondisi manusianya. Jika pemerintah klaim bahwa ada peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, seharusnya harga tempe naik bukanlah masalah karena masyarakat mampu. Tapi nyatanya daya beli konsumen menurun akibat harga tempe yang naik. Atau dalam sektor lain, kenapa laporan angka ranking Universitas di Indonesia menurun di saat pertumbuhan ekonomi meningkat, sebagaimana yang disampaikan Quacquarelli Sydmonds Woorld University of Indonesia (2013).

Perjanjian Internasional atas Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya juga membuka ruang, untuk peran nonnegara dalam upaya pemenuhan hak asasi. Namun, sekali lagi, peran ini untuk merealisasikan pemenuhan hak asasi, bukan mengambil keuntungan berlebih, bahkan sampai menguasasi hajat hidup atau ruang publik yang harusnya dikelola oleh negara. Misalnya, membantu pemerintah menemukan teknologi untuk menyediakan obat murah.

Pertanggungjawaban

Korupsi tidak hanya merugikan secara material, tapi merusak masa depan dan kehidupan manusia. Korupsi melanggar kesepakat global untuk memuliakan manusia yang bangkit setelah perang dunia kedua. Korupsi tidak hanya melanggar undang-undang pemberantasan korupsi atau undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, melainkan melanggar Undang-Undang dibidang Pendidikan, Kesehatan, Ketanagakerjaan, dan banyak Undang-undang lainnya.

Selain asas Progresivitas, hak asasi juga mengenal prinsip Pemulihan (Remedy). Internasional Law Commission, sebuah lembaga hukum dibawah PBB, menerjemahkan pemulihan sebagai upaya post factum yang meliputi; Penghukuman/pengadilan, pemulihan kondisi korban akibat pelanggaran hak asasi, penataan kebijakan dan institusi untuk tidak berulangnya kejahatan. Di Pengadilan HAM Inter-America, bahkan, sudah dikenal pemulihan pada komunitas. Artinya Pemulihan bukan dialamatkan kepada korban per korban saja tapi komunitas luas yang terkena efeknya secara tidak langsung. Menariknya, keputusan ini keluar dari sebuah proses peradilan.

Membangun Efek Jera di Indonesia

Dalam rangka membangun efek jera, sudah saatnya sebuah praktek korupsi dihukum dengan pasal berlapis, bukan sekedar merugikan negara. Melainkan Berbasis pada pelanggaran hak asasi. Kerugian, sebagaimana yang didalilkan oleh KPK, harus dianggap hanya sebagai salah satu aspek, apalagi hanya menghitung biaya kerugian materil belaka.

Berdasarkan uraian di atas, penting untuk didorong, pertama, membuktikan pelanggaran aturan perundang-undangan yang menjamin sejumlah hak yang dirugikan di dalam setiap berkas kasus korupsi, terutama pada tingkat penyelidikan dan penyidikan. Berkas tersebut kemudian bisa diteruskan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk menguji aspek pencurian uang negaranya. Namun, berkas penyidikan yang ada bisa pula diberikan ke Komisi negara lainnya, seperi Pemberantasan korupsi di Indonesia belum dijadikan agenda penegakan hak asasi. Padahal penting dalam pencegahan dan penghukuman untuk menghadirkan perspektif hak asasi. Hampir semua sektor korupsi, uang negara yang dirampok, merupakan uang untuk pemenuhan hak-hak rakyat baik secara individu maupun bersama-sama. Kerangka penghukuman koruptor dengan perspektif pelanggaran HAM akan memberat hukuman dan menjadikannya sebagai hostis humanis genaris (musuh bagi semua umat manusia).

Saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mulai menghitung Beban Sosial Korupsi, dengan cara; Biaya antisipasi terhadap korupsi (biaya pencegahan tindak pidana korupsi), Biaya akibat korupsi (kerugian yang ditanggung masyarakat akibat praktik korupsi, baik eksplisit maupun implisit, seperti: dampak sosial ekonomi, dampak perekonomian, dampak investasi, dst) dan Biaya Reaksi terhadap korupsi (biaya yang muncul sepanjang proses penyelesaian perkara, sejak proses penyelidikan hingga pemasyarakatan). Tujuan beban sosial ini untuk ditimpakan ke koruptor dan bisa menjadikannnya sebagai efek jera alias pemiskinan. Upaya ini oleh KPK dikatakan sebagai pertanggungjawaban atas hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat.

Pertanyaannya kemudian, cukupkah hanya dengan meminta pertanggungjawaban lewat beban pembiayaan?  Jika dilihat dari bentuknya, menurut KPK, Korupsi terjadi melalui penyuapan, pengadaan barang/jasa, penyalahgunaan anggaran, perijinan, pungutan, tindak pidana pencucian uang hingga bentuk penghalangan kerja KPK dalam mengungkap tindak pidana korupsi.

Korupsi yang terjadi di Indonesia meliputi berbagai sektor, di antaranya; pangan, kesehatan, perumahan, pendidikan, hutan dan sumber energi, peradilan dan penegakan hukum, fasilitas umum, agama hingga bantuan sosial untuk kaum dhuafa atau korban bencana. Sektor-sektor ini masuk dalam kategori hak yang dijamin dalam sejumlah aturan hukum HAM, nasional maupun internasional. Atas nama negara, sektor-sektor di atas menyedot uang negara (APBN) dituangkan dalam sebuah Undang-undang. Dengan demikian UU APBN tersebut merupakan turunan dari Konstitusi Indonesia (pasal 1 dan 10, UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).

Sektor-sektor uang yang dikorupsi sangat fundamental dalam isu-isu pemenuhan hak asasi. Misalnya sektor Pangan, korupsi mengakibatkan malnutrisi, korupsi pendidikan mengakibatkan remaja putus sekolah. Korupsi sektor kesehatan berakibat pada cacat permanen, korupsi perumahan berakibat pada hidup tidak hygenies. Korupsi sektor peradilan akan membuat frustasi masyarakat kecil yang tidak mampu melakukan suap. Bahkan ada anggota masyarakat yang membakar diri karena frustasi dengan sistem hukum yang tidak akomodatif. Akibat buruk dari korupsi-korupsi tersebut berujung pada inhuman degrading (merendahkan manusia). Kualitas manusia dan kehidupannya memburuk.

Dalam konteks lingkungan hidup, korupsi terjadi dalam bentuk penyuapan untuk mendapatkan ijin eksplorasi lingkungan (tanah, air atau udara). Akibatnya adalah kerusakan lingkungan yang membutuhkan waktu lama untuk memperbaikinya serta rusaknya ekosistem. Masa depan warga negara Indonesia berpotensi diwarisi kekeringan dan kemiskinan sumber daya alam. Dalam hak asasi isu ini dikenal sebagai hak generasi masa depan (Inter-generational rights).

Di sisi lain, upaya pengungkapan korupsi pun dikriminalkan atau mendapatkan intimidasi atau kekerasan. Tama S Langkun dari ICW yang membongkar rekening gendut pejabat perwira Polri, dianiaya; Seorang PNS di Manado, diadukan ke Polisi dituduh melakukan pencemaran nama baik karena ia membongkar korupsi sebuah kantor Kanwil di Manado. Korupsi mengandung kekerasan yang simbolik hingga kekerasan fisik. Bahkan biaya kuasa hukum pun dibebankan ke institusinya.

Upaya Pemenuhan Hak Asasi

Sebaliknya, konsep hak asasi menempatkan negara sebagai penanggungjawab pemenuhan hak-hak tersebut. Pemenuhan hak asasi tidak bisa parsial, namun harus secara komprehensif, di mana semua jenis hak saling terkait. Misanya, setiap perempuan berhak atas pendidikan yang baik, karena dengan pendidikan yang baik, akan meningkatkan kapasitas kompetitif dalam penyerapan tenaga kerja bagi perempuan. Pendapatan yang layak dari seorang perempuan akan berkontribusi dalam kualitas makan yang dibeli dan mengurangi risiko sakit. Oleh karenanya setiap hak saling indivisble (tak terpisahkan) dalam pemenuhannya. Negara tidak hanya wajib memenuhi setiap jenis hak, akan tetapi wajib menjaga keutuhan pemenuhan tersebut, seperti menyediakan dan memastikan adanya pendidikan yang baik, fasilitas kesehatan yang terjangkau, dan seterusnya.
Dalam Perjanjian Internasional untuk Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang sudah dijadikan hukum Indonesia melalui UU nomor 11 tahun 2005, menyatakan bahwa pemenuhan hak di bidang ekonomi, sosial dan budaya membutuhkan sejumlah prasyarat, pertama, negara harus menggunakan secara optimal sumber-sumber yang dimiliki untuk memenuhi hak-hak asasi sebagaimana yang dijamin, seperti pangan, perumahan, kesehatan, pekerjaan, keamanan, dst. Dengan kata lain, optimalisasi ini bukan untuk tujuan memperkaya diri sendiri. Prinsip ini tidak bisa membenarkan “menggunakan” sumber daya apapun untuk memperkaya diri atau kelompok tertentu.

Kedua, realisasi yang progresif. Artinya realisasi tersebut harus menunjukkan peningkatan kualitas pada penerima manfaat. Penerima manfaat adalah manusia-manusia Indonesia atau yang hidup di Indonesia. Pemenuhan hak ekonomi bukan semata-mata diperdebatkan pada persoalan kebijakan dan teori ekonomi yang diambil (Asbjorn Eide, at. al, 2005). Melainkan pada kondisi manusianya. Jika pemerintah klaim bahwa ada peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, seharusnya harga tempe naik bukanlah masalah karena masyarakat mampu. Tapi nyatanya daya beli konsumen menurun akibat harga tempe yang naik. Atau dalam sektor lain, kenapa laporan angka ranking Universitas di Indonesia menurun di saat pertumbuhan ekonomi meningkat, sebagaimana yang disampaikan Quacquarelli Sydmonds Woorld University of Indonesia (2013).

Perjanjian Internasional atas Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya juga membuka ruang, untuk peran nonnegara dalam upaya pemenuhan hak asasi. Namun, sekali lagi, peran ini untuk merealisasikan pemenuhan hak asasi, bukan mengambil keuntungan berlebih, bahkan sampai menguasasi hajat hidup atau ruang publik yang harusnya dikelola oleh negara. Misalnya, membantu pemerintah menemukan teknologi untuk menyediakan obat murah.

Pertanggungjawaban

Korupsi tidak hanya merugikan secara material, tapi merusak masa depan dan kehidupan manusia. Korupsi melanggar kesepakat global untuk memuliakan manusia yang bangkit setelah perang dunia kedua. Korupsi tidak hanya melanggar undang-undang pemberantasan korupsi atau undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, melainkan melanggar Undang-Undang dibidang Pendidikan, Kesehatan, Ketanagakerjaan, dan banyak Undang-undang lainnya.

Selain asas Progresivitas, hak asasi juga mengenal prinsip Pemulihan (Remedy). Internasional Law Commission, sebuah lembaga hukum dibawah PBB, menerjemahkan pemulihan sebagai upaya post factum yang meliputi; Penghukuman/pengadilan, pemulihan kondisi korban akibat pelanggaran hak asasi, penataan kebijakan dan institusi untuk tidak berulangnya kejahatan. Di Pengadilan HAM Inter-America, bahkan, sudah dikenal pemulihan pada komunitas. Artinya Pemulihan bukan dialamatkan kepada korban per korban saja tapi komunitas luas yang terkena efeknya secara tidak langsung. Menariknya, keputusan ini keluar dari sebuah proses peradilan.

Membangun Efek Jera di Indonesia

Dalam rangka membangun efek jera, sudah saatnya sebuah praktek korupsi dihukum dengan pasal berlapis, bukan sekedar merugikan negara. Melainkan Berbasis pada pelanggaran hak asasi. Kerugian, sebagaimana yang didalilkan oleh KPK, harus dianggap hanya sebagai salah satu aspek, apalagi hanya menghitung biaya kerugian materil belaka.

Berdasarkan uraian di atas, penting untuk didorong, pertama, membuktikan pelanggaran aturan perundang-undangan yang menjamin sejumlah hak yang dirugikan di dalam setiap berkas kasus korupsi, terutama pada tingkat penyelidikan dan penyidikan. Berkas tersebut kemudian bisa diteruskan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk menguji aspek pencurian uang negaranya. Namun, berkas penyidikan yang ada bisa pula diberikan ke Komisi negara lainnya, seperi Komnas HAM atau lembaga hukum lainnya, seperti Kejaksaan Agung, untuk ditindaklanjuti ke Pengadilan Umum. Tujuannya untuk mengadili aspek pidana pelanggaran hak asasi. Idealnya, unsur pencurian uang dan pelanggaran hak asasi diperiksa dalam satu peradilan. Pemidanaan dengan cara gabungan atau pasal berlapis harusnya memberatkan hukuman.

KPK sampai Pengadilan juga harus bisa menerjemahkan kesalahan praktek pelaksanaan kebijakan yang ada dan sering dijadikan dasar korupsi. Keputusan akhir Pengadilan patut membuat rekomendasi perubahan kebijakan dan budaya institusi yang menyebabkan korupsi.

Kedua, sebagai sebuah pilihan, mendorong Komisi Nasional Hak Asasi Manusia turut serta melakukan investigasi atas pelanggaran-pelanggaran hak asasi di sektor ekonomi sosial di mana korupsi terjadi dan melakukan intervensi dalam proses peradilan tindak pidana korupsi.

Tugas penting dari semua upaya ini adalah mengembalikan kehidupan dan mimpi yang rusak oleh praktek korupsi. Menghitung uang kerugian akibat korupsi adalah pintu pertama yang kemudian harus digunakan untuk memenuhi janji negara memberikan sumber-sumber kehidupan, seperti pendidikan dan rumah. Putusan pengadilan perkara korupsi harus menetapkan indikatior waktu dan kualitas pengembalian hak yang diperkarakan. Penanganan korupsi di sektor pangan, sebagai contoh, seharusnya berimplikasi pada meningkatkan konsumsi pangan oleh warga negara.

Keempat, cara lain yang bisa dilakukan adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) melakukan advokasi korban-korban korupsi untuk meminta ganti rugi (kompensasi, rehabilitasi dan restitusi) ke pelaku-pelaku korupsi. Hal ini bisa dilengkapi melalui pendampingan hukum dari lembaga-lembaga bantuan hukum yang baru saja mendapatkan dana APBN. Lembaga-lembaga ini bisa memilih fokus penuntutan ganti rugi akibat korupsi dari warga-warga di sekitarnya. Oleh karenanya penting bagi KPK, Komnas HAM dan lembaga-lembaga serupa membuka hasil penyelidikannya agar bisa dimanfaatkan bagi upaya massal memerangi korupsi.

Upaya KPK patut diapresiasi namun harus ditindaklanjuti oleh berbagai pihak dengan berbagai kerja menyeluruh. Konsep hak asasi manusia adalah sebuah paradigma yang tepat untuk menjadikan para koruptor sebagai musuh kemanusiaan.


Haris Azhar, Koordiantor KontraS 



Sumber:kontras.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar