Foto Puluhan Ribu Orang Mengikuti Pemakaman Tokoh Papua, Theys H. Elluay. |
Rakyat di Papua sudah mempercayai Jokowi-JK dan memberikan lebih dari
70% Suara mereka untuk kemenangan Jokowi-JK karena merasa Hak dan Nasip mereka
akan diperhatikan. Rakyat merasa, dengan diberikan suara mereka atas kemenangan
Jokowi dan JK, akan ada angin segar.
Namun sangat disayangkan. Suara nurani rakyat hanya dibalas dengan
diangkatnya Ryamizard Ryacudu menjadi Menteri Pertahanan, yang tentu, Ryamizard
bagi keluarga korban dan bagi orang Papua adalah Aktor Anti Hak Asasi Manusia.
Pernyataan Ryamizard "Pembunuh Theys Elluay adalah Pahlawan", sangat
mencoreng hati rakyat Papua, karena Theys adalah Tokoh dan Pahlawan rakyat
Papua. Pernyataan Ryamizard bisa dilihat pada web: http://www.tempo.co/read/news/2003/04/23/05511050/Jenderal-Ryamizard-Pembunuh-They
dan
Tentu mengangkat Ryamizard, sama artinya meyobek kepercayaan rakyat
Papua pada Jokowi-JK. Menurut Haris Azhar “Orang-orang seperti Wiranto dan Ryamizard,
akan mempersulit Jokowi dan kabinetnya. Ini adalah ancaman karena harusnya
Jokowi menegakkan hukum tapi justru ada pelanggar hukum di dalamnya. Dia sudah
bersumpah di depan MPR saat dilantik, bahwa hak asasi manusia harus dihormati”
(okezone
News/Sabtu/ 25/102014).
Jika dilihat dari situasi seperti ini, apakah Papua
mau dijadikan daerah Operasi Militer?
Kenapa Jokowi Justru memilih orang Anti Demokrasi/Anti
HAM menjadi Menteri Pertahanan?
Banyak masalah di Papua. Hal di depan mata, untuk di Papua, adalah
dibunuh-nya ruang Demokrasi. Diskriminasi Demokrasi sudah dilakukan sejak 60-an
hingga kini. Sayang-nya, Aktor pembunuh Demokrasi dipercaya menjadi Menteri
Pertahanan, yang tentu, hanya akan memperburuk situasi di Papua. Entah apa
Motivasi diangkatnya aktor seperti itu menjadi Menteri.
Rini Mariani Soemarno pun diangkat oleh Jokowi-JK menjadi Menteri BUMN
di Kabinet mereka. Sementara, Rini ditetapkan oleh KPK sebagai lebel merah.
Proses pemaksaan Menteri dari pribadi yang bermasalah seperti ini, tentu sudah
merusak Demokrasi pada awal Kepemimpinan Jokowi-JK. Aksi relawan di depan
Istana pada Minggu, 26/10/2014, dengan tema tolak Rini menjadi Menteri,
sesungguhnya harus direspon Presiden dan Wakil Presiden baru (TribunNews.Com/26/10/2014).
Jika dilihat dari situasi seperti itu, apakah dengan diangkatnya Prof.
Dr. Yohana Yambise menjadi Menteri Perempuan, hanya sebagai simbolis yang
memberikan pesan filosofis ”Papua itu
perempuan, tidak bisa buat apa-apa dan tidak punya kemampuan, serta bisa diatur
aman dan dikendalikan...? ataukah apa pesan terselubung di balik itu? Ataukah hanya
topeng seakan Papua diberikan ruang yang berbanding terbalik dengan diangkatnya
aktor lain yang anti Demokrasi dan HAM...?”
Dua minggu lalu, saya menjumpai seorang anak kecil berinisial Y/T,
usia-nya baru 13thn. Saat itu, Monas terlihat sepih. Dia datang menghampiri
saya dan berkata, “Kakak, Presiden di Indonesia ini susah dipercaya. Sebelumnya,
Semua Presiden sangat buruk. Tidak ada Presiden yang pro rakyat. Kita bersyukur
perna punya Gusdur, hanya sayang, dia harus dipaksakan turun dari Jabatannya.
Pokok-nya, semua Presiden itu sama. Ujung-ujung-nya hanya kepentingan”. Saya
langsung berkata sama dia, “De, Jokowi ini beda dengan yang lain. Dia akan
mampu membangun rakyat Indonesia.” Anak itu langsung memotong bahasa saya dan
berkata “Kak, Jokowi juga akan sama dengan Presiden sebelumnya. Kakak lihat
saja nanti”. Setelah melihat beberapa Menteri yang semestinya ditolak tapi tetap
dipertahankan dan aspirasi rakyat tidak didengar Jokowi-JK, mengingatkan saya
pada apa yang perna dikatakan anak berusia 13tahun itu.
Tentu saat ini, Rakyat butuh Demokrasi, Rakyat butuh hak mereka
dikembalikan dan dihormati serta dijunjung tinggi. Karenanya, berharap,
kepemimpinan Jokowi-JK bisa berpikir ulang dalam merekrut Kabinet yang bersih
dan pro-rakyat serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, dan mampu membuka
ruang Demokrasi seluas-luas-nya bagi rakyat, khusus-nya di Papua. Berharap,
Jokowi dan JK bisa membuka ruang Dialog Jakarta-Papua, apalagi, JK punya
pengalaman membuka Perundingan antara Jakarta dan Aceh.
Penulis: Marthen Goo (Aktivis Kemanusiaan Papua)