Seorang Mahasis Papua, Zakarias Wenza Pikindu (27), Mendapatkan Intimidasi dan Diskriminasi Oleh Polisi dan Oknum TNI di Cililitan Hingga Wajah Berlumuran Darah, Serta Korban Diancam Untuk Ditembak
foto Zakarias Wenza Pikindu |
JAKARTA,SuaraKaumTakBersuara.com- Setelah Diskriminasi dan Pelecehan Martabat Manusia sebagai orang Papua menimpa Thia Hubbi, Mahasiswa Trisakti, 4/9/2013, Kini kasus yang serupa walau bentuk tindakannya sedikit beda karena lebih pada Intimidasi dan Diskriminasi pun menimpah seorang Mahasiswa IPB (Mahasiswa Akhir Smester) pada Fakultas Pertanian, jurusan Proteksi Tanaman, Zakarias Wenza Pikindu (27), pada hari kamis, 19/9/2013. Korban dipukul berkali-kali dibagian wajah dan kepala hingga lumuran darah menutupi wajah, sampai korban ditodong untuk ditembak di Polsek Cililitan, Jakarta Timur.
Berikut ini kronologi yang dilaporkan oleh Korban.
KRONOLOGI
Pada malam hari, Rabu, 18 September 2013, saya bekerja
di Laboratorium “MIKOLOGI(CENDAWAN/JAMUR)”. Saat kerja, saya ditelepon oleh
seorang adik mahasiswa utnuk meminta bantuan saya mengendarai MOBIL, guna mengantar
adik yang sakit dari RS KATILI ke RS CAROLUS JAKARTA. Karena adik Sakit, saya
tinggalkan pekerjaan, kemudian pergi mengambil mobil di rumah Kakak Selvi Tebay
untuk mengantar orang sakit ke RS CAROLUS JAKARTA.
Setelah tibah di RS Carolus, pasien kemudian kami amankan di Rumah Sakit. Karena Ngantuk, saya tidur sebentar dalam mobil, setelah mengurus Pasien. Hari mulai terang, saat itu hari kamis, 19 September 2013, kami kemudian kembali ke Bogor. Dalam kendaraan hanya Saya dan adik Rikardus Keiya. Kami mengambil jalur Kamp. MELAYU-Cililitan untuk masuk di Jalan TOL JAGORAWI.
Saya mengendarai kendaraan untuk lurus ke arah Cililitan, karena macet. Setelah lampu hijau, kendaran yang berada di depan saya langsung belok ke arah Kalibata, sementara saya mengambil jalan lurus ke arah Cililitan. Kemudian seorang polisi memberhentikanku mobil yang saya kemudia dan memeriksa surat –surat sebagai pengemudi.
Semua surat – surat lengkap. Namun, tanpa alasan, Polisi mengatakan, “harus diproses di Kejaksaan, karena, Bapak sudah salah jalur”. Kenapa Bapak? Saya hanya membawa Pasien dari Bogor ke RS. Carolus. Saat berkomunikasi dengan Polisi yang memberhantikan kendaraan saya, tiba-tiba, ada seorang TNI dengan pakaian Dinas dan beberapa orang aparat berpakaian preman datang dan memukuli saya. Mereka memukuli saya di bagian kepala dan wajah. Saya tidak membalas, dan hanya pasrah menerima pukulan-pukulan mereka. Akibat pukulan tersebut, darah pun mengalir dari wajah saya.
Saya dipaksa keluar dari mobil dan masuk ke dalam Mapolsek. Dalam Mapolsek saya ada di tengah-tengah beberapa orang Polisi, ada yang di depan dan belakang. Dalam Mapolsek, saya dipukul di kepala bagian belakang dan rasanya mau jatuh, namun saya berusaha untuk menahan. Setelah saya dipukul, saya digiring masuk ruang tahanan kecil dan diinterogasi sambil mengintimidasi saya. Polisi berpakaian preman mau menembak saya dalam proses Interogasi tersebut. Saya bilang silakan tembak kalau itu memang tugas Bapak untuk menembak.
Lalu Polisi yang menodong senjata untuk menembak saya itu bilang, kamu anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM). Dia buka jaketnya dan bertanya, apakah kamu belajar bela diri? kalua tahu ilmu beladiri, mari kita ADU!
Saya menjawab “maaf Pak" Saya tidak belajar ilmu itu. Saya belajar ILMU PERTANIAN dan ILMU SEPAK BOLA saja.
Mereka bertanya, kenapa tidak MEMUKUL OM POLANTAS? lalu saya menjawab " Tangan saya, tangan orang PAPUA tidak bisa pukul orang semabarangan, karena, TANGAN saya adalah tangan MEMBERI bukan MEMUKUL.
Setelah itu, mereka menyuruh saya mencuci muka karena wajah saya berlumuran darah, dan saya digiring ke ruang pelayanan UMUM untuk membuat SURAT PERNYATAAN (SP). Dengan keterpaksaan, saya membuat pernyataan.
Poin - poin yang mereka suruh tulis dalam SP itu adalah
Bahwa pada hari Kamis, tgl 19 September 2013, telah terjadi pemukulan terhadap saya oleh masyarakat umum, bukan aparat Kepolisian atau TNI karena melanggar aturan Lalulintas. Pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Mereka mengintimidasi saya dan mengancam saya agar tidak lapor kasus ini ke KOMNAS HAM dan KONTRAS. Ada om polisi yang baru saja pindah tugas dari Brimob Kidung Halang Bogor ke Polres Jakarata Timur, dan ia bertanya, Kenal abang-mu yang di Brimob gak? siapa saja! sebut namanya! saya menyebut beberapa orang abang-abang saya yang Perwira maupun Bintara. Brimob itu terkejut dan menekan saya dengan berkata “jangan lapor kesana”.
Mereka mengancam saya dengan berkata Mau diurus proses Hukum atau Buat SP dan pulang ke Bogor! Karena saya berpikir tentang Penelitian saya yang belum selesai, maka, saya memutuskan buat SP dan pulang. Kemudian saya berkata untuk memilih SP yang mereka paksa dan kemudian saya dipaksa untuk menandatangani SP-tersebut. Saya dikeluarkan hari itu juga, setelah menandatangani SP.
Setelah tibah di RS Carolus, pasien kemudian kami amankan di Rumah Sakit. Karena Ngantuk, saya tidur sebentar dalam mobil, setelah mengurus Pasien. Hari mulai terang, saat itu hari kamis, 19 September 2013, kami kemudian kembali ke Bogor. Dalam kendaraan hanya Saya dan adik Rikardus Keiya. Kami mengambil jalur Kamp. MELAYU-Cililitan untuk masuk di Jalan TOL JAGORAWI.
Saya mengendarai kendaraan untuk lurus ke arah Cililitan, karena macet. Setelah lampu hijau, kendaran yang berada di depan saya langsung belok ke arah Kalibata, sementara saya mengambil jalan lurus ke arah Cililitan. Kemudian seorang polisi memberhentikanku mobil yang saya kemudia dan memeriksa surat –surat sebagai pengemudi.
Semua surat – surat lengkap. Namun, tanpa alasan, Polisi mengatakan, “harus diproses di Kejaksaan, karena, Bapak sudah salah jalur”. Kenapa Bapak? Saya hanya membawa Pasien dari Bogor ke RS. Carolus. Saat berkomunikasi dengan Polisi yang memberhantikan kendaraan saya, tiba-tiba, ada seorang TNI dengan pakaian Dinas dan beberapa orang aparat berpakaian preman datang dan memukuli saya. Mereka memukuli saya di bagian kepala dan wajah. Saya tidak membalas, dan hanya pasrah menerima pukulan-pukulan mereka. Akibat pukulan tersebut, darah pun mengalir dari wajah saya.
Saya dipaksa keluar dari mobil dan masuk ke dalam Mapolsek. Dalam Mapolsek saya ada di tengah-tengah beberapa orang Polisi, ada yang di depan dan belakang. Dalam Mapolsek, saya dipukul di kepala bagian belakang dan rasanya mau jatuh, namun saya berusaha untuk menahan. Setelah saya dipukul, saya digiring masuk ruang tahanan kecil dan diinterogasi sambil mengintimidasi saya. Polisi berpakaian preman mau menembak saya dalam proses Interogasi tersebut. Saya bilang silakan tembak kalau itu memang tugas Bapak untuk menembak.
Lalu Polisi yang menodong senjata untuk menembak saya itu bilang, kamu anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM). Dia buka jaketnya dan bertanya, apakah kamu belajar bela diri? kalua tahu ilmu beladiri, mari kita ADU!
Saya menjawab “maaf Pak" Saya tidak belajar ilmu itu. Saya belajar ILMU PERTANIAN dan ILMU SEPAK BOLA saja.
Mereka bertanya, kenapa tidak MEMUKUL OM POLANTAS? lalu saya menjawab " Tangan saya, tangan orang PAPUA tidak bisa pukul orang semabarangan, karena, TANGAN saya adalah tangan MEMBERI bukan MEMUKUL.
Setelah itu, mereka menyuruh saya mencuci muka karena wajah saya berlumuran darah, dan saya digiring ke ruang pelayanan UMUM untuk membuat SURAT PERNYATAAN (SP). Dengan keterpaksaan, saya membuat pernyataan.
Poin - poin yang mereka suruh tulis dalam SP itu adalah
Bahwa pada hari Kamis, tgl 19 September 2013, telah terjadi pemukulan terhadap saya oleh masyarakat umum, bukan aparat Kepolisian atau TNI karena melanggar aturan Lalulintas. Pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Mereka mengintimidasi saya dan mengancam saya agar tidak lapor kasus ini ke KOMNAS HAM dan KONTRAS. Ada om polisi yang baru saja pindah tugas dari Brimob Kidung Halang Bogor ke Polres Jakarata Timur, dan ia bertanya, Kenal abang-mu yang di Brimob gak? siapa saja! sebut namanya! saya menyebut beberapa orang abang-abang saya yang Perwira maupun Bintara. Brimob itu terkejut dan menekan saya dengan berkata “jangan lapor kesana”.
Mereka mengancam saya dengan berkata Mau diurus proses Hukum atau Buat SP dan pulang ke Bogor! Karena saya berpikir tentang Penelitian saya yang belum selesai, maka, saya memutuskan buat SP dan pulang. Kemudian saya berkata untuk memilih SP yang mereka paksa dan kemudian saya dipaksa untuk menandatangani SP-tersebut. Saya dikeluarkan hari itu juga, setelah menandatangani SP.
Oleh: Marthen Goo
Laporan ini dari hasil wawancara korban.