Jumat, 02 Januari 2015

JOKOWI BERJANJI DI PAPUA, KEKERASAN JALAN TERUS



Kekerasan dan Diskriminasi Rasial Berjalan Bersama Untuk Orang Papua, Pemerintah Terkesan Tak Serius Untuk Papua

Konflik di Papua masih terus terjadi walau Jokowi berkata akan melakukan pendekatan yang menurut diri-nya adalah pendekatan yang terbaik, entah referensi apa yang dipakai Jokowi seperti apa. Pernyataan itu keluar setelah perayaan Natal yang dilakukan di Jayapura-Papua pada 28 Desember 2014.

Sementara, pernyataan Jokowi atas kasus Paniai, 8 Desember 2014, lahir setelah 9 hari terjadinya kasus pembantaian tersebut. Sesungguhnya, ini soal kemanusiaan yang direspon ketika kasus itu terjadi. Namun soal kemanusiaan di Papua, Jokowi masih memakai istilah jedah beberapa hari. Ini pernyataan yang sangat misteris, yang harus direnung bagi kita sekalian.

Ternyata, kekerasan tidak berhenti setelah pernyataan yang dikeluarkan oleh Jokowi. Kekerasan itu terus terjadi hingga masuk tahun baru. Ini menunjukan bahwa, kekerasan di Papua tidak akan perna terselesaikan.


Merilis Kembali Peristiwa

8 Desember 2014
TNI dan Polri menembak mati 4 Siswa SMU, dan 4 Siswa SD luka-luka, 2 Siswa SMP luka-luka dan 16 lainnya luka-laku yang terdiri dari Mahasiswa, Masyarakat dan PNS. Pada kasus tersebut, aparat susah mengalihkan kasus tersebut menjadi kasus lain berdasarkan stigmatisasi yang selalu dipakai.

10 Desember 2014
Jokowi bersam Komnas HAM menyelenggarakan hari HAM di Jogjakarta.

24 Desember 2014
TNI masuk ke beberapa Gereja di Paniai dan membuat panik umat TUHAN di Gereja saat harus beribadah.

26 Desember 2014
Ada pernyataan Presiden terkait kasus di Paniai melalui Sekretariat Negara, Andi W, “alasan mengapa Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum mengeluarkan pernyataan terkait insiden penembakan warga sipil di Paniai, Papua”.

28 Desember 2014
Presiden berkata:
(1)   Saya melihat rakyat Papua tidak hanya butuh pelayanan kesehatan, tidak hanya butuh pelayanan pendidikan, tidak hanya pembangunan jalan, jembatan, dan pelabuhan saja. Tapi, juga butuh didengar dan diajak bicara,"
(2)   "Kita akhiri konflik. Jangan ada kekerasan, marilah kita bersatu. Yang masih di dalam hutan, yang masih di atas gunung-gunung, marilah kita bersama-sama membangun Papua sebagai tanah yang damai,"
(3)   "Semua harus mau dialog, berbicara dengan masyarakat. Karena, dengan berbicara itulah kita bisa tahu betul akar masalahnya itu apa. Tetapi, saya meyakini, dengan sebuah dialog syukur bisa pendek, persoalan itu bisa selesai,"
(4)   "Semua harus mau dialog, berbicara dengan masyarakat. Karena, dengan berbicara itulah kita bisa tahu betul akar masalahnya itu apa. Tetapi, saya meyakini, dengan sebuah dialog syukur bisa pendek, persoalan itu bisa selesai," Jokowi lanjut lafi dengan berkata “

31 Desember 2014
Ada penembakan versi Aparat di Deyai pada pukul 11.15 WIT. Penembakan tersebut melukai Bribtu Arif di Kampung Gakokebo. Penembakan dilakukan oleh OTK. OTK diinformasikan melarikan diri ke arah gunung di Iyaadimi. Sementara, masyarakat yang melintasi daerah Iyaadimi melihat banyak aparat yang berjaga-jaga dan melintas.  Tidak terdengar tembakan baik di Gakokebo maupun Iyadimi, dan situasi saat itu terlihat aman-aman.

1 Januari 2015
Kamis, pukul 21.00, Terjadi kekerasan yang mengorbankan Bripda Adriandi dan Bripda Ryan Hariansyah serta sekurity PT Freeport bernama Suko Miyartono.

2 Januari 2015
Pernyataan pihak polda Papua “Saat ketiganya patroli menggunakan kendaraan dari Kampung Binti menuju ke Kampung Uikini, mereka diadang oleh sekelompok orang tidak dikenal berjumlah lima orang”. Tribun News menegaskan “ kemungkinan kelompok kriminal bersenjata yang selama ini melakukan gangguan dan penembakan pada masyarakat serta anggota TNI dan Polri”. Status OTK tapi tribun menstigma-nya. Kriminal bersenjata. Entah siapa mereka.


Ada dua hal yang menarik, yakni:
1)      Setelah Presiden mengeluarkan pernyataan dengan bahasa manis-nya, kekerasan tetap terjadi;
2)      Kasus pada tanggal 31/12/2014 dan tanggal 1/1/2015, yang korban adalah Aparat, yakni Polri, salah satu-nya adalah Satpam.

Apa motivasinya?
1.      Apakah sebagai upaya pengalihan Isu kasus 8 Desember 2014...?
2.      Apakah sebagai upaya legalitas untuk hadir-nya Kodam...?
3.      Apakah sebagai upaya pencitraan...?
4.      Apakah sebagai upaya penambahan pasukan atau darurat militer...?
5.      Apakah sebagai upaya penambahan dana keamanan...?
6.      Apakah sebagai perlawanan terjadap kepemimpinan Jokowi...?
7.      Apakah sebagai upaya agar tidak ada proses Dialog...?
8.      Apakah sebagau upaya agar rakyat tetap bungkam dan tidak kritis...?
9.      Apakah sebagai upaya mematikan Psikologi dan Mentalitas rakyat...?


Peristiwa seperti ini sesungguhnya menunjukan bahwa sampai Kapanpun akan terus ada kekerasan yang dimainkan. Mungkin kekerasan itu akan berakhir kalau orang yang tidak suka ada Orang Asli Papua hidup kemudian punah dari tanah leluhur mereka. Siapa mereka yang tidak senang Orang Asli Papua hidup, tentu mereka yang sedang merampas seluruh kekayaan di Papua dan bahkan merampas tanah adat.

Situasi membuat orang Papua seakan tergantung pada Jokowi, selaku Presiden Republik Indonesia. Sementara, kasus di Paniai terjadi, Jokowi tidk menunjukan nilai kemanusiaannya. Nilai kemanusiaan itu harus ditunjukan dengan pernyataan belasungkawa, apalagi, Jokowi saat itu memperingati Hari HAM sedunia di Jogjakarta, pada 10 Desember 2014.

Sementra, setiap aksi anak-anak Papua, dilarang oleh Pihak Kepolisian. Dan itu tidak hanya di Papua. Di Jakarta pun pelarangan aksi mulai dilakukan. Entah apa motivasinya, tapi tentu sebagai upaya untuk membungkam hak Orang Papua dan ini bagian dari proses percepatan pemusnaan Orang Papua. Tentu, tanpa disadari ada praktek rasial yang dilakukan oleh Aparat Negara dan bahkan oleh Petinggi Negara seperti Jokowi dan Jusuf Kala. Jika Perlakuan rasis sudah dilakukan seperti ini, tentu ini ancaman terbesar yang harus dilihat dengan seksama.

Hal rasial lain yang bisa diperhatikan adalah, Aceh bisa digelar Dialog (Perundingan), sementara untuk Papua, Pemerintah Pusat selalu menghindar dan bahkan menutup diri dengan pernyataan negatif dan stigma miring. Kini, Dialog yang diartikan Jokowi pun terkesan direduksi subtansi dari Dialog. Jika Jokowi serius, sesungguhnya dia sudah memilih “Special Envoy”.


Penulis: Marthen Goo (Aktivis Kemanusiaan Papua)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar