Senin, 04 November 2013

KAWAT DURI MEMALANG KANTOR GUBERNUR PAPUA




JAYAPURA, SuaraKaumTakBersuara-  Sejarah baru di Papua, dimana kawat duri dipakai menghalangi massa aksi yang hendak aksi di Kantor Gurnur. Selain itu, ada kelompok yang berdiri di dekat kawat duri yang membantu memblokade kawat duri, senin, 4 November 2013.

Penduduk Jayapura yang melintasi Dok II, Jayapura, Papua, merasa kaget ketika melihat pemalangan yang dilakukan pemerintah Porpinsi Papua dengan mengelilingi  rol kawat duri di depan kantor Gubernur. Ini merupakan sejarah baru sejak kantor Gubernur didirikan. Setiap aksi yang dilakukan oleh Masyarakat Papua, Kawat Duri tidak perna dilintasi di depan Kantor Gubernur, namun kini, Gubernur baru lukas Enembe, dalam kepemimpinannya justru membuat sejarah baru.

Gubernur baru Lukas Enembe pun, pada beberapa bulan yang lalu melarang masyarakat Papua untuk aksi. Pelarangan aksi mmerupakan bagian dari penutupan ruang demokrasi di Papua. Kali ini, di kantor Gubernur Papua dipapang gulingan Kawat Duri.

Menurut R/J, “kami merasa heran, ko kantor Gubernur bisa dipalang kawat duri. Ini sejarah baru. Ini juga bagian dari upaya mematikan ruang Demokrasi di Papua”. (M/G)

RIBUAN MAHASISWA PAPUA TURUN JALAN TOLAK OTSUS PLUS



Mahasiswa Saat Berada di Taman Imbi, Kota Jayapura. (Jubi/Arjuna)

Jayapura, 4/11 (Jubi) – Sekitar seribuan mahasiswa Papua dari berbagai universitas yang ada di Kota Jayapura dan sekitarnya turun jalan dan melakukan aksi long march dari Abepura, Kota Jayapura menuju Kantor Gubernur Papua yang jaraknya kurang lebih 25 km,Senin (4/11).

Aksi ini sebagai bentuk protes mahasiswa atas UU Otsu Plus Papua sebagai pengganti UU Otsus Papua no 21/200. Massa mengklaim dengan diberlakukan UU Otsus Plus tidak akan terjadi perubahan pada masyarakat Papua.

“Otsus Plus tidak akan merubah apapun. Otsus Plus bukan solusi bagi masyarakat asli Papua. Kami dengan tegas menolak rencana pemberlakukan Otsus Plus di Papua,” kata salah satu mahasiswa dalam orasinya.

Sementara Pelaksana Sekda Papua, Hery Dosinaen mengatakan, penolakan mahasiswa itu adalah hal yang wajar dan merupakan hak demokrasi mereka.

“Perubahan UU Otsus menjadi Otsus Plus untuk lebih penguatan jati diri, harkat martabat orang Papua, membuat makna percepatan untuk pembangunan di tanah Papua dan lebih melihat persoalan sosial dan politik lebih rekonsiliatif. Bisa saja itu ada kepentingan elit tertentu,” kata Her Dosinaen.

Dikatakan, semua orang bisa beretorika, tapi bagaimana ada keberanian dari pemimpin untuk melihat terutama regulasi. Namun secara dinamika, sampai saat ini tidak sesuai lagi.

“Acuan kita dalam penyelenggaraan pemerintahan di Papua. Itu pun ketika kita berkonsultasi ke pemerintah pusat, selalu bertabrakan secara frontal dengan regulasi sektoral lainnya. Karena didalam UU itu pasal demi pasal semua masih diatur oleh perundang-undang lainnya,” ujarnya.

(Jubi/Arjuna) 



Sumber: www.tabloidjubi.com

AKSI PULUHAN MAHASISWA PAPUA MENOLAK PEMEKARAN DI JAKARTA



JAKARTA, SuaraKaumTakBersuara - Pemekaran dinilai menjadi ancaman atas kehidupan rakyat Papua di tanah Leluhur mereka. Mahasiswa Papua melakukan aksi di depan kantor DPR RI, Menkopolhukan, Istana dan Kemendagri, senin, 4 November 2013.

Puluhan massa aksi mulai melakukan aksi di depan DPR RI pada pukul 10.30. Dalam orasi, para orator menegaskan penolakan atas pemekaran tersebut. Aksi tersebut dilanjutkan di beberapa tempat aksi, seperti di Menkopolhukam, istanah dan Kemendagrian. Massa aksi yang berjumlah puluhan orang tersebut dengan semangat menyuarakan aspirasi penolakan pemekaran karena dinilai akan mengancam hak hidup rakyat Papua. Juru Bicara pada aksi tersebut, WK, menegaskan, “kami dengan tegas menolak pemekaran, karena pemekaran akan menjadi ancaman atas hak hidup rakyat. Pemekaran tidak mensejahterakan rakyat.”

Sementara, ketika Perwakilan mahasiswa yang aksi di depan Kemendagrian melakukan Audiensi dengan pihak Kemendagrian yang diterima langsung oleh  Dirjen Penata Wilayah, Indrayanto. Menurut Indrayanto dalam Audiensi tersebut, “para elit Papua mengancam pihak Pemerintah Indonesia untuk memisahkan diri atau memerdekakan Papua apabila Pemekaran tidak disetujui”. Ancaman itu datang dari para elit-elit Papua yang mengatasnamakan rakyat untuk mendorong Pemekaran.

Mendengar pernyataan dari Dirjen tersebut, mahasiswa Papua menjadi marah dan kecewa atas permainan elit yang sudah mendorong kehancuran kehudipan rakyat Papua atas kepentingan orang tertentu atas ambisius jabatan tersebut. Mahasiswa juga menyesalkan pernyataan Dirjen yang tidak objektiv. Sesungguhnya Dirjen memperhatikan syarat-syarat pemekaran berdasarkan kelegalan dalam konstitusional Negara, bukan pada kepentingan politik yang mengancam hak hidup orang banyak.  (M/G).