Jumat, 30 Agustus 2013

Uskup Timika: Hidup dari olah tanah, bukan dari jual tanah

  30/08/2013


Uskup Timika, Papua, Mgr John Philip Saklil  meminta kepada semua orang Papua untuk hidup dari hasil olah tanah, bukan dari hasil jual tanah.

“Tanah adalah modal utama dalam pengembangan ekonomi dalam rangka meningkatkan kesejateraan keluarga. Tinggalkan kebiasaan jual tanah. Semua orang Papua harus hidup dari hasil olah tanah, bukan dari hasil jual tanah,”  kata  Uskup Saklil kepada majalahselangkah.com, Kamis, (29/08/13).

Prelatus itu menjelaskan, melalui Surat Gembala masa Prapaskah tahun 2013 Gereja telah mengajak umat di Papua untuk kerja. Kerja berarti melakukan sesuatu untuk kesejahteraan pribadi dan bersama.
Menurutnya, dewasa ini  ‘kerja’ dipahami hanya sekedar sebagai mencari nafkah, mendapatkan uang, dan jabatan.  Padahal lebih dari itu, kerja itu sebagai pembangunan martabat manusia, beriman untuk mengubah bumi sebagai tempat yang sejahtera dan layak dihuni.
“Manusia hidup di atas tanah, berusaha mengolah tanah, agar tanah menjadi tempat kehidupan. Melalui ‘kerja’, manusia tidak hanya mengubah tanah atau bumi tetapi juga mengubah diri sendiri menjadi lebih manusiawi,” tuturnya.

Bagi umat Kristiani, kata dia, di atas tanah ini manusia perlu merenungkan kembali tentang kisah penciptaan Allah. Hendaklah tanah menumbuhkan tunas tunas muda, tumbuh-tumbuhan yang berbiji, segala jenis buah-buahan yang menghasilkan buah berbiji, supaya ada tubuh- tumbuhan di bumi. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam Kejadian1:11.

Jadi, menurutnya, tanah bukan untuk dijual, dibiarkan, ditanduskan. Namun, musti diolah, ditanami tumbuhan, dibangun rumah/pemondokan oleh pemiliknya demi menghasilkan sesuatu yang bisa menghidupi, melengkapi kebutuhan, mensejahterakan diri, keluarga,  lebih dari itu sesama di sekitar.

“Masyarakat pribumi Papua belum menghargai, mencintai  tanah warisan para leluhur kita yang penuh dengan susu dan madu, sebagai anugerah dari Yang Maha Kuasa. Sebagai tempat kehidupannya, warisan bagi anak cucunya, sebagai tempat tinggal bagi makhluk hidup pada umumnya,” katanya.

Di sisi lain, kata Uskup, hutan dimusnakan, tanah dibiarkan gundul, dampaknya  bumi memusuhi manusia, bumi juga melahirkan penderitaan dan ancaman, seperti sungai jadi dangkal, kebanjiran, air meluap, pencemaran udara, suhu bumi memanas, munculnya wabah penyakit, kehilangan marga satwa, hilangnya lahan subur sebagai daerah pertanian.

Dengan menelaah eksistensi kehidupan orang asli Papua di saat ini, Uskup meminta, orang Papua  perlu menyadari bahwa tanah adalah tempat manusia kerja untuk hidup. Allah menciptakan manusia dari tanah, hidup dan mengolah tanah, serta akan kembali ke tanah. Jadi tanah merupakan awal, pertengahan dan akhir kehidupan manusia. Manusia bisa menaklukkannya agar manusia bisa hidup dari hasil ciptaan Yang Maha Pencipta.

“Mengolah tanah dan hutan sendiri demi memenuhi kebutuhan sendiri, menuju peningkatan swasembada pangan dan hutan,” tambahnya.


Sumber:

http://indonesia.ucanews.com/2013/08/30/uskup-timika-hidup-dari-olah-tanah-bukan-dari-jual-tanah/

PENGANIAYAAN WARTAWAN OLEH 3 ANGGOTA POLISI

Andreas Badii, Wartawan Bintang Papua, Dianiaya Oleh 3 Anggota Polisi di Paniai


JAKARTA, SuaraKaumTakBersuara - Dengan alasan Razia, Wartawan Andreas Badii disiksa oleh 3 Anggota Polisi, 15 Agustus 2013, pukul 16.00 Saat Korban Pulang dari Pasar menuju di rumahnya, sehabis membeli sumbu kompor dan tidak membeli minyak tanah karena habis, di Enarotali, Kabupaten Paniai.

Menurut Y/D dari hasil wawancara dengan korban, korban menjelaskan peristiwa yang menimpah dirinya. Menurut Y/D, kronologis peristiwa tersebut berawal dari kepulangan Andreas Badii membeli dan sumbu kompor sementara minyak tanah yang mau dibelinya habis. Peristiwa itu terjadi pada pukul 16.00 wit.

Berikut ini kronologis kasus penganiayaannya:

Foto Korban Bintang Papua, Wartawan Andreas Badii

15 Agustus 2013

Pada hari Kamis,15 Agustus 2013, pukul 16.00 wit , Wartawan Andreas Badii  Ke Pasar Enarotali hendak membeli minyak tanah dan sumbu kompor. Sesampainya di Pasar, karena Minyak tanah habis, Wartawan Andreas hanya membeli sumbu kemudian mengisinya dalam tas yang dibawanya dan langsung pulang ke rumahnya di daerah Madi.
  
Pada pukul 16.30 wit,    Wartawan melintasi di depan Puskesmas Enarotalitepatnya di perempatan kompas lama. Karena jelang hari raya, Polisi sedang razia saat itu. Polisi  yang berjaga di situ, menyuruh wartawan berhenti. Karena menggunakan Motor, Wartawan pun berhenti di depan Polisi untuk diperiksa barang bawaannya tersebut. Polisi  atas nama LUKMAN mendekati Wartawan tersebut dan berkata, "permisi pak, saya mau periksa tas-mu". Jawab Wartawan "silahkan Polisi periksa tas Wartawan". Saat periksa tas, Wartawan itu menyambung bahasa "Pak, didalam  tas saya hanya isi Laptop, sama sumbu kompor. tidak ada barang lain". 

Setelah Polisi memeriksa tas  wartawan , Polisi (LUKMEN) mengambil tali Kompor dan bertanya pada wartawan, "ini untuk apa?", (walaupun, Wartawan sudah berkata pada Polisi bahwa di dalam tas-nya hanya ada sumbu kompor dan Laptop).
Wartawan  menjawab-nya dengan senyum  "OM MACAM TIDAK TAHU SAJA" (pernyataan itu disampaikan Wartawan karena saat diperiksa Polisi, Wartawan telah mengatakan, di dalam tas itu hanya ada laptop dan sumbu kompor).
Polisi LUKMAN tidak menerima bahasa yang disampaikan Wartawan  tersebut, kemudian Polisi LUKMAN dengan nada emosi mengatakan "ko melawan kah!",   
Jawab Wartawan "saya bukan melawan, itu sumbu kompor Pak" sambil wartawan  tunjukkan ke arah tali kompor tersebut. Kedua kalinya LUKMAN mengeluarkan bahasa yang sama, "ko melawan kah!" (sambil melepaskan pukulan di helm bagian depan kepala Wartawan).

Dengar kata melawan yang LUKMAN lontarkan itu,  teman Polisi lainnya yakni Polisi FRENDI TOMATALA melepaskan pukulan sambil mengatakan "ko melawan kah". Frendi memukul di bagian hidung sehingga darah pun mengalir dari hidung. dari arah yang lain, Polisi WELLEM USIOR datang dan melepaskan pukulan ke wajah Wartawan  dan bibirnya mengeluarkan darah.

Rentetan pukulan terus diarahkan pada Wartawan. Walau Wartawan mengatakan dirinya Wartawan, ketiga Polisi itu tidak merespon dan tetap memukulnya. Untungnya Wartawan tersebut mengenakan Helm sehingga kepalanya masih bisa terlindungi, walau hidup dan bibir serta mukanya nyonyor. Ada anggota Polisi  lain yang datang, kemudian menarik baju Wartawan dari belakang, sehingga wartawan  tersebut  jatuh  dan terseret di atas jalan  Aspal. Saat Polisi menganiaya  Andreas Badii,  D/B melihat Wartawan jatuh di tanah  kemudian D/B mendekati korban dan membantu angkat motor Wartawan amankan, Sementara korban dibawa oleh Polisi ke Kantor Polsek Paniai Timur

Selain itu, anggota Polisi WELLEM USIOR membawa senjata  M-16 dan menakut – nakuti  dan menodong Wartawan dengan arah senjata ditodong ke arah Wartawan dan mengancam untuk mau ditembak. Dalam perjalanan, hidung dan bibir wartawan mengalir darah bagai air, namun 3 anggota itu tetap menyiksa Wartawan. sementara Anggota polisi lain melihat wartawan itu mengeluarkan darah melalui mulut dan hidung lalu anggota Polisi lain  membawa wartawan  ke Polsek Paniai Timur.

Jarak TKP ke Polsek Paniai Timur sekitar 500 Meter. Sementara sebelum dibawa ke sana, Polisi berusaha mengambil kunci Motor Wartawan, namun Wartawan lebih dulu mengamankan kuncinya.

Dengan pengawalan ketat Polisi membawa Wartawan ke Polsek Paniai Timur dan kemudian, Sampai di Polsek Paniai Timur, Seorang Polisi yang membawa Wartawan  (korban tidak tahu namanya)  menjelaskan, "kami razia mulai dari bulan Januari 2013 jadi anggota semua pada kecapean. Siang, malam tidak tidur. Jadi kalau kata pertama tidak dengar atau kalau agak kasar, kami tidak terima karena mereka lagi kecapean. 

Di kantor polisi, Wartawan bertamya, "Kapolres  dimana ya?" ,  
Jawab Polisi, Kapolres lagi pimpin razia di tempat lain. Selama kurang lebih  30 menit   di Polsek Wartawana itu bisa  diijinkan untuk pulang ke rumah

16 Agustus 2013
Jumat pagi , 16 gustus 2013, Pukul 08.45 Wit,  Wartawan saat sedang menyiapkan dirinya untuk ke Kantor Polres Paniai guna melaporkan peristiwa itu ke Kapolres, tiba-tiba HP Wartawan   bunyi, lalu cepat-cepat Wartawab mengangkat telpon, ternyata ditelpon oleh Kapolres Paniai (SEMMY RONNY ABA). Dalam Via Telpon, Kapolres Paniai  menyampaikan permohonan maaf  atas tindakan anak buahnya terhadap  Andy Badii, Wartawan Bintang Papua. Kapolres  menyampaikan "kami POLISI punya kode etik, bisa dilakukan pengaduan untuk diproses hukumkan."

Mendengar penjelasan Kapolres, Wartawan kemudian menemui Kapolres ke Kantornya untuk pengaduan. Pukul 09.15, Wartawan  menemui Pak Kapolres untuk menyampaikan kronologis kejadian. Setelah mendengar Kronologis kejadian, Kapolres menyampaikan permohonan maaf dan meminta Provos untuk ditindak lanjuti pengaduan tersebut. Sementara Wartawan  lagi melaporkan peristiwa ke Kapolres, BUPATI Paniai, Hengki Kayame,SH,MH, Kasat Intel,  dan Wakil Bupati datang ke Kantor Polresta. BUPATI Hengki Kayame,SH,MH Marah ke-3  oknum anggota Polisi yang menganiaya seorang  Wartawan. Hengki Kayame menegaskan pada Kapolres untuk segera tangkap dan tahan ke-3 Polisi tersebut di dalam Sel. Perintah Bupati itu diamankan Kapolres Paniai  dengan menahan 3 polisi itu dan memasukan dalam sel Polresta, selama 1 minggu.


(Biko***)